Cerita Kedai Kopi Paling Revolusioner di Kota Manado

Kedai Kopi Revolusi adalah nama salah satu kedai kopi yang berada di Kota Manado, Sulawesi Utara. Kedai yang keras kepala namun kritis melawan arus yang membunuh kebebasan dan mata pencaharian sesuai dengan namanya yang revolusioner. Kenapa saya katakan demikian, karena hanya di kedai kopi itu hiduplah perlawanan secara taktis terhadap Peraturan Protokol Kesehatan Covid 19 Kota Manado yang buram tak jelas itu. 

Dimana Pemerintah menerapkan larangan atau batas waktu kepada setiap tempat jualan seperti. Kedai Kopi, Coffe Shop, Warung Makan, semua tempat pembelanjaan dan ruang publik "tempat keramaian" agar di tutup jam 20.00 Wita. Tanpa menyadari bahwa sebagian besar tempat jualan mendapatkan income-nya diatas jam 20:00 WITA kala itu.

Kedai Kopi Revolusi adalah kedai yang memiliki ruangan dengan luas kira-kira 5×6 persegi. Di sebagian dindingnya terpampang bingkai-bingkai yang terdapat gambar para tokoh pergerakan, tokoh kemanusiaan dan tokoh perempuan nasional maupun internasional seperti, Che Guevara, Carl Marx, Tan Malaka, Videl Castro, Mahatma Gandhi, Soekarno, Munir, Wiji Thukul, Marsinah, Soe Hoek Gie dan tidak lupa Pramoedya Ananta Toer.

Dan seingat saya, didalam ruangan kedai kopi tersebut terdapat dua rak buku minimalis yang berisikan puluhan buku-buku diantaranya ialah buku Dibawah Bendera Revolusi, karya Ir. Soekarno. Buku Negeri Para Bedebah (2012), karya fiksi realisme dari seorang Tere Liye. Buku Massa Aksi (1926) dan Madilog (1943) milik Tan Malaka. Buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003), karya Muhidin Dahlan. Buku Homo Deus (2015) dan Sapiens (2011), karya Yuval Noah Harari. Buku Catatan seorang Demonstran (1983), karya Soe Hoek Gie. Buku Bumi Manusia (1980), karya Pramoedya Ananta Toer dan masih banyak lagi. Buku yang disebutkan di atas merupakan buku yang saya sempat baca dan usap sendiri.

Seingat saya, mereka para manusia bandel yang disebut pengunjung oleh Owner kedai kopi revolusi, biasanya datang melewati jalan tikus kemudian masuk dari pintu belakang kedai kopi yang berada ditengah pemukiman itu. Sebab pintu utama "pintu depan" di gembok dari luar untuk mengalihkan perhatian petugas Covid 19 yang didampingi pihak keamanan (Polisi-TNI) kala itu. Kondisi mencekam yang agak-agaknya serupa dengan hikayat para aktivis di era Soeharto berkuasa (orde baru).

Lihat Juga :



  
Dan tahukah anda, pengunjung yang datang setiap malamnya bukan hanya satu dua orang, melainkan lebih banyak daripada itu, sehingga biasanya pengunjung yang datang belakangan tidak mendapatkan tempat untuk duduk. Anda jangan berpikir mereka pulang, karena mereka tetap memesan segelas kopi dan kemudian duduk lesehan dengan tenang. Maka bayangkan betapa sesak dan berkabut asap rokok di kedai kopi revolusi kala itu. Jangan salah kaprah dulu, karena ini bukanlah masalah bagi manusia-manusia bandel yang disebut pengunjung itu.

Saya ingin sampaikan bahwa kondisi di atas tersebut bisa bertahan dari jam 20:00 sampai pukul 04:00 pagi, entah apa yang dibicarakan dan diskusikan. Walaupun demikian mereka selalu keluar pulang dengan bahagia, seakan telah berhasil membunuh yang namanya dominasi pemerintah.

Sebelum itu, saya ingin menyampaikan bahwa tindakan mereka itu bukan tindakan membangkang tanpa dasar, melainkan reaksi dari tidak adanya solusi dari pemerintah pusat maupun daerah terkait kebutuhan mayoritas pemuda untuk menyeruput kopi sembari bermesraan bersama sahabat atau pacarnya di kedai kopi.


Terakhir, kenapa saya bisa dan berani menuliskan kondisi perlawanan nan lucu ini, karena saya adalah salah satu manusia bandel "pengunjung" yang seringkali hadir di atas jam 20.00 itu. Hehe

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel