Mazhab-Mazhab Pemikiran Filsafat yang Berkembang di Indonesia

Pada hari-hari sebelumnya kita telah memberikan waktu untuk membahas tentang filsafat Indonesia dan para tokoh pelopor kajian filsafat Indonesia. Sekarang, saya akan berupaya membahas dalam satu tema baru, yakni tema terkait mazhab atau aliran pemikiran khususnya filsafat yang berkembang di Indonesia. 

Mazhab Filsafat Etnik

 
Sesuai dengan namanya, mazhab ini mengambil kajian tentang etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi dasar yang digunakan dalam Mazhab ini ialah, Mitologi, Legenda, Cerita Rakyat, Cara Kelompok Etnis Hidup dan tradisi-tradisinya, Sastra yang dihasilkan dan Epik-epik yang dituliskan. Dengan kata lain semua hal yang melandasi bangunan filsafat etnis tersebut.

Secara pemikiran mazhab ini mengajarkan setiap kelompok etnis untuk mengetahui asal muasal lahirnya kelompok etnis tertentu tersebut. Dimana mazhab ini berupaya untuk melestarikan filsafat-filsafat etnis yang asli, dikarenakan pemahaman tersebut telah dianut kelompok atau anggota etnis, sebelum mereka berhubungan dengan tradisi filosofis asing yang datang kemudian.

Menurut Jakob Sumardjo. Gagalnya kebijakan pendidikan fi Indonesia menyebabkan, Orang Indonesia kontemporer berada pada posisi "Buta" terhadap nilai-nilai asli mereka, dan Akibatnya mereka terasingkan, teraleinasi dari budaya ibu mereka. Selebihnya mazhab etnik ini menganut pandangan Filosofis yang terdapat dalam kajian-kajian seperti. Adat, Struktur Sosial Adat, Mitos Asal muasal, Pantun dan Pepatah.

Dan para filsuf-filsuf Indonesia yang menganut Mazhab Etnik dalam Filsafat Indonesia yakni. Ki Hajar Dewantara, Sunoto, R. Pramono, Jakob Sumardjo, Damardjati Supadjar, Franz Magnis Suseno dan P. J. Zoetmulder.

Mazhab Filsafat Islam 


Mazhab Filsafat Islam  adalah Mazhab yang diyakini datang ke Indonesia dari jalur Sufisme, Persia. dan mulai merambat mengakar dalam diskusi-diskusi terkait kefilsafatan Indonesia sejak tahun 1400-an sampai sekarang. Mazhab Islam yang notabenenya di perkenalkan oleh Sufisme ini. disinyalir berkembang karena pengaruh kerajaan-kerajaan dan kesultanan Islam yang mulai berdiri secara masif di wilayah Nusantara pada saat itu. Misalnya Raja-raja dan Sultan-sultan seperti.

Sunan Giri, Raja dari Kerajaan Giri Kedaton, Sunan Gunung Jati, Raja II Kerajaan Cirebon, Sunan Kudus, Sultan dari Kesultanan Demak. Pakubuwana II, Raja ke V Kasunanan Kartasura. Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan ke-6 dari Kesultanan Banten. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah, Sultan dari Kesultanan Aceh, dan seterusnya. Banyaknya kerajaan dan kesultanan yang lahir dengan Raja, Sultan yang belajar dan meganut Sufisme, telah membuat mazhab kefilsafatan Islam menyebar di wilayah-wilayah kekuasaannya masing-masing.

Lihat juga :

Tokoh-Tokoh Pelopor Kajian Filsafat Indonesia
 

Dengan kata lain, tradisi kefilsafatan mazhab Islam terafiliasi atau terbentuk karena adanya praktek Sufisme lewat Raja dan Sultan yang juga dikenal sebagai seorang Sufi diatas. Sufisme yang dianut oleh para raja dan sultan sendiri terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, kelompok Sufisme Ghazalisme yang terinspirasi dari ajaran-ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali dan kelompok Sufisme Ibn Arabiisme, adalah orang-orang yang terinspirasi dari doktrin-doktrin Ibn Arabi.

Dan di sepanjang sejarah tradisi kefilsafatan mazhab Islam, telah melahirkan para sufi-sufi besar. dimana setelah dari masa para Raja maupun Sultan, praktek Filsafat Sufisme ini melekat pada ulama-ulama besar yang berdasarkan kelompok-kelompok Sufisme-nya. Sufi Kelompok Ghazalisme yakni. Syekh Nuruddin Al-Raniri dari Kesultanan Aceh. Syekh Abdulrauf Al-Singkili. Syekh Yusuf dari Makassar dan Abd Al-Shamad Al-Palimbangi yang berasal dari Palembang. Dan sementara di kelompok Ibn Arabiisme terdapat nama-nama seperti. Syekh Siti Jenar. Syekh Hamzah Alfansuri yang berasal dari Wilayah Barus, Sumatera Utara. Syekh Al Sumatrani yang berasal dari Sumatera dan lain-lainnya.

Adapun masa dimana ajaran-ajaran Islam dan khususnya Sufisme mengalami proses penyintesisan dengan Filsafat pencerahan barat di masa modernisasi islamik oleh Cendekiawan muslim yakni Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mesir tahun 1800-an.

Berdasarkan hasil sintesis, maka para muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasikan dalam kehidupannya. Kenyataan ini tampak jelas dengan adanya tokoh-tokoh muslim Indonesia yang berkiblat kepada pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Seperti, KH. Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Khatib. Haji Abdul Karim Amrullah, Moh Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Misbach, Haji Agus Salim dan lain-lain.

Berikut adalah beberapa nama para filsuf Indonesia yang mendalami kajian tradisi filsafat Islam di Indonesia atau yang bermazhab filsafat Islam dalam kajian Filsafat Indonesia. Seperti, Tuanku Imam Bonjol, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Buya Hamka, Haji Misbach, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Goenawan Mohammad, Ulil Abshar Abdalla dan terakhir Musa Asy'ari.

Mazhab Tiongkok


Tradisi filsafat Tiongkok sendiri dibawah oleh imigran-imigran yang notabenenya berasal dari Tiongkok yang diperkirakan datang sekitaran tahun 1122- 222 SM dengan membawa serta memperkenalkan ajaran-ajaran Taoisme dan Konfusianisme kepada masyarakat pada masa itu. Kemudian dua Filsafat asing tersebut bercampur dan berbaur bersama tradisi filsafat lokal yang telah ada sebelumnya, sehingga dari pencampuran filsafat-filsafat itu tidak dapat dipisahkan lagi.

Salah satu ajaran yang terlihat dalam pencampuran tersebut dapat dilihat pada ajaran Konghucu di Indonesia, yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia 'Menghormati Orang Tua'. Ajaran ini menegaskan bahwa seseorang harus orang tuanya melebihi apapun, dengan kata lain mendahulukan orang tuanya, sebelum mengutamakan kepentingan orang lain.

Pada dasarnya Mazhab Tiongkok kelihatan lebih eksklusif, karena hanya dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun begitu, pemikiran filsafat yang disumbangkan terbilang cukup besar bagi tradisi kefilsafatan Indonesia.

Filsuf-filsuf utama mazhab Tiongkok diantaranya adalah :

1. Tan Ling Djie, Tjoe Bou San, seorang Tokoh Nasional Tionghoa pada masa Hindia Belanda.

2. Kwee Hing Tjiat, seorang Jurnalis Melayu-Tionghoa.

3. Liem Koen Hian, seorang Wartawan dan Politikus di Zaman Hindia-Belanda

4. Kwee Kek Beng, yang merupakan seorang Sastrawan Betawi peranakan Tionghoa.

5. Leo Suryadinata yang merupakan seorang Seniolog, Tionghoa Indonesia

6. Tjan Tjoe Som adalah seorang guru besar Seniologi di Universitas Indonesia

Mazhab Filsafat India


Kedatangan filsafat India ditandai dengan kedatangan para kaum Brahmana Hindu dan para penganut Buddhisme yang berasal dari India ke Nusantara (Indonesia), sekitaran tahun 322 SM-700 M. Ajaran filsafat Hinduisme dan Buddhisme yang diperkenalkan oleh mereka kepada penduduk asli di respon dengan menyintesakan kedua ajaran filsafat India itu menjadi versi baru yang dikenal dengan sebutan Tantrayana (meditasi dan mantra-mantra). Ajaran ini jelas terlihat pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Seilendra 800-850 SM.

Kehidupan ajaran filsafat Hinduisme dan Buddhisme sendiri saling berlawanan di India. Namun ketika datang ke Indonesia dan berbaur, maka kedua filsafat itu dapat didamaikan oleh tradisi filsafat Jawa asli. Semua itu dapat terlaksana karena atas kejeniusan dari tokoh pada masa itu, yakni. Sambhara Suryawarana, Mpu Prapanca dan Mpu Tantular.

Mazhab Filsafat Barat


Mazhab Filsafat Barat diketahui dibawah oleh para Kolonial Belanda, sekitar tahun 1900-an. Dimana pada awal kedatangannya menerapkan Politik Etis atau Politik Hati Nurani, dengan salah satu konsepnya yakni mendirikan lembaga-lembaga pendidikan untuk anak-anak pribumi dan kelas-kelas feodal yang nantinya dipersiapkan untuk bekerja di lembaga pemerintahan kolonial.

Sekolah-sekolah yang berbahasa Belanda itu, kemudian juga mengajarkan Filsafat Barat sebagai salah satu mata pelajaran yang terapkan pada sekolah tersebut. Misalnya Filsafat Yunani dan Filsafat abad pencerahan. Sekolah yang didirikan itu, kemudian menghasilkan banyak alumni yang melanjutkan studinya di universitas-universitas Eropa. dan pada akhirnya mereka muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama Intelegensia bergaya Eropa, dengan dasar pemikiran filsafat barat yang dipelajarinya.

Filsafat Barat kemudian mengilhami banyak lembaga Sosio-politis Indonesia modern. Yakni, mendirikan pemerintahan Republik Indonesia, Konstitusinya, Distribusi kekuasaan dengan Partai Politiknya, mengatur perencanaan ekonomi dengan model Eropa. Bahkan Ideologi yang diciptakan oleh Ir. Soekarno sendiri terinspirasi dari sebagian pemahaman barat tentang, Humanisme, Demokrasi Sosial dan Sosialisme Nasional. Fakta yang terlihat ini, menggiring kesimpulan bahwa pemikiran Indonesia modern dibangun di atas cetak-biru Barat.

Dari semuanya di atas, yang paling menarik untuk diamati ialah, kelompok elit yang menganut filsafat barat, tersebut, masih menjunjung tinggi pemikiran filsafat yang telah ada sebelumnya, dan lebih dulu mengadaptasikan filsafat barat dengan keperluan serta kegunaannya pada situasi masyarakat Indonesia yang masih berjiwa feodalistik.

Adapun para filsuf-filsuf Indonesia yang menganut pemikiran filsafat barat tersebut adalah. Tan Malaka, Mohammad Hatta, Nicolaus Drijarkara, Fuad Hassan, Justin Sudarminta, Karlina Supeli, Kees Bertens, F. Budi Hardiman, Franz Magnis Suseno, Kuntowijoyo, FX. Eko Armada Riyanto, Ignas Kleden dan Paulus Budi Kleden.

Mazhab Filsafat Kristiani


Mazhab ini diketahui datang ke Indonesia bersamaan dengan para kapitalis barat yang berlayar mencari koloni-koloninya di bagian dunia lain, termasuk juga di Indonesia. Ajaran filsafat Kristiani pada awalnya dimulai dari jalur perdagangan tepatnya pada pertengahan abad-15. Kedatangan dengan metode berdagang sekaligus menyebarkan tradisi filsafat Kristiani itu, dapat dikatakan datang secara berkala, pertama ialah pedagang-pedagang dari Portugis, Spanyol dan terakhir diikuti dengan kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan ajaran Katolik dan ajaran Yohanes Calvin, yang dikenal sebagai seorang teolog Kristen dari Prancis.

Ketika datang seorang Pewarta Katolik asal Spanyol yang bernama Fransiskus Xaverius, menjadi titik awal keseriusan perkembangan dari tradisi filsafat Kristiani. hal pertama yang dikerjakan olehnya ialah menerjemahkan beberapa transkrip-transkrip Kristiani pada sekitar tahun 1546-1547 M, kedalam bahasa Melayu. Berikut kumpulan transkripnya:

1. Credo

Credo atau Aku Percaya adalah transkrip yang berisikan Pengakuan Iman atau suatu pernyataan, pengakuan mengenai rangkuman kepercayaan Kristen.

2. Peter Noster

Peter Noster atau Doa Bapak Kita adalah doa yang yang diajarkan dan dibacakan dalam Agama Kristen.

3. Confession Generalis

Confession Generalis atau Pengakuan Umum adalah pengakuan atas segala sesuatu yang diberitakan oleh Agama Kristen

4. Ave Maria

Ave Maria atau Salam Maria adalah doa dalam bentuk nyanyian yang diajarkan serta dinyanyikan oleh penganut agama Kristen.

5. Salve Regina

Salve Regina atau Salam Sang Ratu adalah doa himne Maria yang dinyanyikan oleh penganut agama Kristen

6. Sepuluh perintah Tuhan 

Adalah suatu kumpulan Bible terkait etika dan ibadah

Setelah selesai menerjemahkan beberapa transkrip diatas, kemudian disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda pada masa itu. Langkah selanjutnya yaitu mendirikan gereja-gereja Katolik dan dengan begitu jumlah penganut Katolik pun meningkat pesat. Namun tidak lama kemudian datanglah Belanda ke Indonesia sekitar tahun 1596 dan para Pastor Katolik diusir dan pengikutnya dipaksa untuk tunduk mengikuti ajaran Calvinisme oleh penganut Calvinisme Belanda.

Kapitalis Belanda melalui Gubernurnya yang bernama, Jan Pieterszoon Coen, yang merupakan penganut Calvinisme yang Saleh, kemudian mendirikan Nederlandse Hervormde Kerk (Gereja Reformasi Belanda) untuk menggantikan Gereja Katolik sebelumnya. Dan juga mendirikan sekolah sebagai wadah pendidikan yang bukan hanya mengajarkan Teologi, akan tetapi mengajarkan Filsafat Kristiani didalamnya (Chiristian of Philosophy), yang nantinya berkembang menjadi sebuah kewajiban dalam sebuah wadah pendidikan menengah ataupun universitas Katolik untuk mengajarkan Filsafat Kristiani sampai sekarang.

Adapun para filsuf-filsuf Indonesia yang memiliki kontribusi dalam perkembangan filsafat Kristiani adalah Franz Magnis-Suseno, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Paulus Budi Kleden, Ignas Kleden dan Justinus Sudarminta.

Mazhab Filsafat Pasca-Soeharto


Mazhab ini diketahui memiliki DNA awal pada masa rezim Soeharto di Indonesia. Dimana mazhab ini lebih berfokus pada kritikan terhadap kebijakan Sosio-Politik yang dikeluarkan Presiden Soeharto selama masa jabatannya dari 1966-1998.

Secara aspek pemikir, tradisi kefilsafatan mazhab ini lebih terlihat bermuatan utama Filsafat Politik, dimana inti tujuannya ialah mencari alternatif-alternatif untuk menggoyang Rezim yang korup kala itu. Seperti, perlawanan oleh beberapa orang yang mencoba di tahun 1970-an, namun dapat direndamkan dengan pukulan keras yang ditandai dengan insiden-insiden bersejarah yakni, Peristiwa ITB, Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974.

Sejak insiden-insiden kekerasan di atas , tradisi kefilsafatan masih hidup namun sayangnya hanya dapat bernafas diruang-ruang tertentu, dengan kata lain tradisi filsafat ini hanya dapat dipraktekkan sebtas Utopia, dan secara Praksis dan Intelegensi di pisahkan dari filsafat, dengan cara dilarang oleh rezim Soeharto, dan yang mungkin bisa bertahan adalah sebatas Penalaran yang selalu bertolakbelakang dengan kenyataan kediktatoran yang terlihat oleh para penganut tradisi filsafat ini.

Berdasarkan kenyataan seperti diatas, maka era rezim Soeharto secara kacamata Filsafat disebut sebagai 'Era Candu Filsafat'. Kenapa demikian, karena segala jenis dan mazhab filsafat dapat hidup, tapi tidak diperbolehkan untuk dipraktekkan dalam kenyataan. dan Filsafat juga hanya dijadikan sebagai sekedar Latihan Akademis dan dipaksa tunduk atas keabsolutan Pancasila yang dibuat menjadi satu-satunya filsafat dan ideologi Negara, tentunya Pancasila versi kepentingan penguasa, bukan Pancasila versi BPUPKI.

Tradisi kefilsafatan ini kemudian mulai menunjukkan eksistensinya sekitaran 1990-an dengan beberapa kesempatan melancarkan kritik serta gerakan politik yang cukup terorganisir hingga dan puncaknya di tahun 1998, yang menjadi tahun runtuhnya Soeharto kala itu.

Secara pribadi saya lebih sepakat ketika mazhab pasca-soeharto ini disebut sebagai Mazhab Filsafat Modern Indonesia, namun secara keseluruhan uraian tetaplah berangkat dari sejarah perjuangan mahasiswa dan tokoh-tokoh politik lainnya. Saya juga sependapat jika di masa 1970-1998, yang meningkat adalah pemikiran filsafat politik. Sebab terlihat pada gaya perpolitikan yang berubah pasca Soekarno maupun Soeharto yang pad masanya masing-masing masih mencari ideal Konsep Negaranya dan masih menganut Politik Sentralistik.

Mazhab filsafat

Demikianlah pembahasan kita tentang Mazhab-Mazhab Pemikiran Filsafat yang Berkembang di Indonesia. Terimakasih

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel