Periodisasi Filsafat Islam Menurut Harun Nasution
Harun Nasution sendiri lahir pada hari Selasa tepatnya pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Putra dari Abdul Jabber Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi ( penghulu ) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungan. Sedangkan ibunya Maimunah seorang boru di Mandailing Tapanuli.
Harun memulai pendidikan pertamanya di HIS selama tujuh tahun sehingga berusia 14 tahun, ia belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di sekolah, dan di sekolah pulalah ia dididik disiplin dengan ketat. Harun sangat menyenangi pelajaran ilmu pengetahuan alam dan sejarah. Kemudian Harun melanjutkan sekolahnya di MIK ( modern Islamietische kweekscool ) di Bukit Tinggi yaitu sekolah guru menengah pertama swasta modern, selama tiga tahun ia belajar di sana dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Belanda.
Di sekolah inilah mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya. Harun kemudian pada tahun 1938 Harun hijrah ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar.
Selanjutnya ia menjadi kandidat di universitas yang sama pada tahun 1942. Dan ia menyelesaikan studi sosial dengan Gelar Sarjana Muda dan Universitas Amerika di Cairo pada tahun 1952, dan tepatnya akhir tahun 1953, Ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah.
Diketahui pemikiran pembaharuan pendidikan Harun Nasution mulai disosialisasikan dan diaplikasikan sejak ia pertama masuk di jajaran elite IAIN Jakarta tahun 1969. Tepatnya ketika setelah menyelesaikan studinya di Universitas Me Gill Canada ). Dimana ketika itu, Harun mempunyai pandangan bahwa pemikiran di IAIN sebelum dirinya bergabung ke dalam begitu sangat sempit, karena alergi terhadap hal-hal yang berbau pembaharuan. Faktor pendorong dari pendapat tersebut adalah dimana buku-buku yang berisi pemikiran pembaharuan, seperti buku-buku karangan Muhammad Abduh, misalnya, dilarang diajarkan di IAIN.
Menurutnya, secara pemikiran maupun praktek pendidikan di IAIN masih tradisional, dimana spesialisasinya ke fiqh, bukan pemikiran. Padahal pemahaman agama Islam yang fiqh oriented ada ketika semua masalah dikembalikan kepada fiqh atau hukum Islam, dengan begitu kita akan kembali ke 20 tahun yang silam. Di Samping itu, jika IAIN tetap dibiarkannya dikuasai oleh pemikiran fiqh yang sempit itu, maka pemerintah akan memandang bahwa IAIN melahirkan pemikiran sempit dan fundamentalis dalam arti negatif, yang karenanya sanat boleh jadi IAIN akan ditutup.
Harun kemudian membicarakan pembaharuan dalam konteks filsafat, terutama filsafat Islam yang melambungkan namanya sebagai pemikir Islam Indonesia yang cukup serius membicarakan penerapan filsafat dalam pendidikan. Salah satu pendapatnya ialah mengenai persoalan periodisasi lahirnya kajian filsafat Islam.
Nah, Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan oleh Harun Nasution, yakni menurutnya perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern.
Menurutnya, Periode Klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650 - 1250 M. Dan Periode Pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Dan terakhir Periode Modern atau Kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Harun melanjutkan dengan mengatakan bahwa, aktivitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang pasca-kematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 SM. Walaupun sementara itu terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam.
Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir - pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi".
Dan, kemudian muncul pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang disinyalir sebagai batu loncatan yang berlanjut hingga kini. Menurutnya terdapat beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.
Harun juga mengungkapkan bahwa, Filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung ( Alexander the Great ) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari.
Penerjemahan literatur - literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah ( 750 - 1250an M ) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam.
Lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dahulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah pendidikan dalam perspektif orang Islam.
Harun memulai pendidikan pertamanya di HIS selama tujuh tahun sehingga berusia 14 tahun, ia belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di sekolah, dan di sekolah pulalah ia dididik disiplin dengan ketat. Harun sangat menyenangi pelajaran ilmu pengetahuan alam dan sejarah. Kemudian Harun melanjutkan sekolahnya di MIK ( modern Islamietische kweekscool ) di Bukit Tinggi yaitu sekolah guru menengah pertama swasta modern, selama tiga tahun ia belajar di sana dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Belanda.
Di sekolah inilah mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh kedua orang tua dan masyarakat sekitarnya. Harun kemudian pada tahun 1938 Harun hijrah ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar.
Selanjutnya ia menjadi kandidat di universitas yang sama pada tahun 1942. Dan ia menyelesaikan studi sosial dengan Gelar Sarjana Muda dan Universitas Amerika di Cairo pada tahun 1952, dan tepatnya akhir tahun 1953, Ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah.
Diketahui pemikiran pembaharuan pendidikan Harun Nasution mulai disosialisasikan dan diaplikasikan sejak ia pertama masuk di jajaran elite IAIN Jakarta tahun 1969. Tepatnya ketika setelah menyelesaikan studinya di Universitas Me Gill Canada ). Dimana ketika itu, Harun mempunyai pandangan bahwa pemikiran di IAIN sebelum dirinya bergabung ke dalam begitu sangat sempit, karena alergi terhadap hal-hal yang berbau pembaharuan. Faktor pendorong dari pendapat tersebut adalah dimana buku-buku yang berisi pemikiran pembaharuan, seperti buku-buku karangan Muhammad Abduh, misalnya, dilarang diajarkan di IAIN.
Menurutnya, secara pemikiran maupun praktek pendidikan di IAIN masih tradisional, dimana spesialisasinya ke fiqh, bukan pemikiran. Padahal pemahaman agama Islam yang fiqh oriented ada ketika semua masalah dikembalikan kepada fiqh atau hukum Islam, dengan begitu kita akan kembali ke 20 tahun yang silam. Di Samping itu, jika IAIN tetap dibiarkannya dikuasai oleh pemikiran fiqh yang sempit itu, maka pemerintah akan memandang bahwa IAIN melahirkan pemikiran sempit dan fundamentalis dalam arti negatif, yang karenanya sanat boleh jadi IAIN akan ditutup.
Harun kemudian membicarakan pembaharuan dalam konteks filsafat, terutama filsafat Islam yang melambungkan namanya sebagai pemikir Islam Indonesia yang cukup serius membicarakan penerapan filsafat dalam pendidikan. Salah satu pendapatnya ialah mengenai persoalan periodisasi lahirnya kajian filsafat Islam.
Nah, Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan oleh Harun Nasution, yakni menurutnya perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern.
Menurutnya, Periode Klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650 - 1250 M. Dan Periode Pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Dan terakhir Periode Modern atau Kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Harun melanjutkan dengan mengatakan bahwa, aktivitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang pasca-kematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 SM. Walaupun sementara itu terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam.
Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir - pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi".
Dan, kemudian muncul pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang disinyalir sebagai batu loncatan yang berlanjut hingga kini. Menurutnya terdapat beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.
Harun juga mengungkapkan bahwa, Filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung ( Alexander the Great ) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari.
Penerjemahan literatur - literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah ( 750 - 1250an M ) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam.
Lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dahulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah pendidikan dalam perspektif orang Islam.