Sebuah Kritik terhadap Sinetron di Indonesia
Saya mungkin bisa dianggap orang paling kolot sekabupaten Sula atau mungkin orang yang dianggap paling aneh di dalam pandangan masyarakat sekitar lingkungan desa saya. Pasalnya, saya adalah satu-satunya manusia yang membenci, melarang dan bahkan mengumandangkan memboikot TV Kabel dan parabola yang memiliki channel-channel TV yang menayangkan sinetron, serial tentang percintaan anak-anak SMP, SMA dan bahkan drama keluarga. Baik di ruang-ruang diskusi saya dengan teman, sahabat sekabupaten Sula dan khususnya tempat tongkrongan di desa saya.
Gaungan tentang gerakan anti-sinetron ini telah saya lakukan semenjak tahun 2016 hingga detik ini. Dimana, menurut saya, sinetron yang beratus-ratus season yang ditayangkan di televisi nasional kehilangan esensinya sebagai media mengedukasi publik, terkhusus para remaja dan bahkan telah merambat pada kalangan dewasa. Dimana konsep pembuatan sinetron yang terkadang kejar tayang itu cenderung mengejar rating, finansial ketimbang mengejar terciptanya sebuah nilai-nilai yang baik yang menonton.
Anda tentu memahami bahwa ketika sebuah sinetron yang berhasil dilanjutkan dari season satu sampai seterusnya, itu karena memiliki rating yang tinggi dan untuk mencapai rating yang tinggi maka diperlukan penonton yang banyak pula. Berapa banyak? Tentunya beribu-ribu atau bisa berjuta-juta orang (penonton), karena kalau tidak demikian maka seorang produser sinetron tidak akan berani menghamburkan uangnya untuk film yang ratingnya rendah dan pasti lebih memilih untuk membungkus (istilah di dunia perfilman) sinetron tersebut.
Disisi lain dengan banyaknya penonton di atas, diketahui didominasi oleh kelompok anak-anak dan remaja. Bayangkan sinetron yang menceritakan kisah cinta anak SMA, SMP dan drama keluarga yang ditonton remaja dan bahkan anak-anak itu merasuki setiap otak generasi kita dan membentuk sebuah pemahaman bahwa pacaran di usia-usia mereka diperbolehkan. Terlebih terdapat sebuah penelitian yang mengatakan bahwa ternyata tontonan percintaan merupakan salah satu faktor pendorong percepatan terjadi menstruasi pertama dan kematangan sel sperma. Akibatnya yang terjadi saat ini ialah ketika seorang anak SMP, SMA berpacaran banyak kasus-kasus seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan menikah di usia dini di kalangan SMP, SMA begitu tinggi di Indonesia.
Ada yang berkata itu hanyalah cinta monyet! Ahk bukankah telah terbukti bahwa cinta monyet itu telah merusak otak anak-anak dan remaja? Bukankah cinta monyet itu telah mengubah perilaku dan karakter bangsa? Saya ingin berkata bahwa cinta monyet yang dipahami oleh orang-orang kelahiran 80 - 90an, telah berbeda secara praktik dengan kelahiran 2000an. Dimana dimasa 80-90an hanya berakhir pada pegangan tangan dan bahagia sedangkan generasi sekarang, mereka akan bahagia bila telah berhasil mencium bibir pasangannya atau paling menyedihkan berhasil meniduri pasangannya. Itulah yang terlihat pada realita saat ini.
Sebab secara sadar, kita semua bisa memahami bahwa apa pun yang ditonton oleh manusia adalah sebuah pengetahuan, pengetahuan bisa saja di saring atau tidaknya tergantung si penonton. Namun yang terjadi pada umumnya, upaya penyaringan tontonan tidak terjadi pada mereka yang berusia remaja maupun anak-anak. Hal inilah yang menjadi dasar dari kehancuran karakter dan perilaku generasi muda.
Terlebih tontonan ini juga telah berhasil meraih perhatian dan menghabiskan waktu para remaja dan anak-anak ketimbang menghabiskan waktunya untuk belajar demi meningkatkan intelektualitas, imajinasi dan kreativitas di dalam hidup mereka.
Terakhir, tentu banyak juga faktor lain yang mempengaruhi terjadinya hal-hal seperti diatas dalam kalangan anak-anak maupun remaja. Namun menurut saya faktor tontonan inilah yang paling mendominasi, karena tontonan yang ditonton tanpa menyaringnya akan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan yang kolektif akan membentuk budaya dalam sebuah kelompok usia maupun lingkungan hidup. Dan itu berbahaya. Terima kasih.
Gaungan tentang gerakan anti-sinetron ini telah saya lakukan semenjak tahun 2016 hingga detik ini. Dimana, menurut saya, sinetron yang beratus-ratus season yang ditayangkan di televisi nasional kehilangan esensinya sebagai media mengedukasi publik, terkhusus para remaja dan bahkan telah merambat pada kalangan dewasa. Dimana konsep pembuatan sinetron yang terkadang kejar tayang itu cenderung mengejar rating, finansial ketimbang mengejar terciptanya sebuah nilai-nilai yang baik yang menonton.
Anda tentu memahami bahwa ketika sebuah sinetron yang berhasil dilanjutkan dari season satu sampai seterusnya, itu karena memiliki rating yang tinggi dan untuk mencapai rating yang tinggi maka diperlukan penonton yang banyak pula. Berapa banyak? Tentunya beribu-ribu atau bisa berjuta-juta orang (penonton), karena kalau tidak demikian maka seorang produser sinetron tidak akan berani menghamburkan uangnya untuk film yang ratingnya rendah dan pasti lebih memilih untuk membungkus (istilah di dunia perfilman) sinetron tersebut.
Disisi lain dengan banyaknya penonton di atas, diketahui didominasi oleh kelompok anak-anak dan remaja. Bayangkan sinetron yang menceritakan kisah cinta anak SMA, SMP dan drama keluarga yang ditonton remaja dan bahkan anak-anak itu merasuki setiap otak generasi kita dan membentuk sebuah pemahaman bahwa pacaran di usia-usia mereka diperbolehkan. Terlebih terdapat sebuah penelitian yang mengatakan bahwa ternyata tontonan percintaan merupakan salah satu faktor pendorong percepatan terjadi menstruasi pertama dan kematangan sel sperma. Akibatnya yang terjadi saat ini ialah ketika seorang anak SMP, SMA berpacaran banyak kasus-kasus seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan menikah di usia dini di kalangan SMP, SMA begitu tinggi di Indonesia.
Ada yang berkata itu hanyalah cinta monyet! Ahk bukankah telah terbukti bahwa cinta monyet itu telah merusak otak anak-anak dan remaja? Bukankah cinta monyet itu telah mengubah perilaku dan karakter bangsa? Saya ingin berkata bahwa cinta monyet yang dipahami oleh orang-orang kelahiran 80 - 90an, telah berbeda secara praktik dengan kelahiran 2000an. Dimana dimasa 80-90an hanya berakhir pada pegangan tangan dan bahagia sedangkan generasi sekarang, mereka akan bahagia bila telah berhasil mencium bibir pasangannya atau paling menyedihkan berhasil meniduri pasangannya. Itulah yang terlihat pada realita saat ini.
Sebab secara sadar, kita semua bisa memahami bahwa apa pun yang ditonton oleh manusia adalah sebuah pengetahuan, pengetahuan bisa saja di saring atau tidaknya tergantung si penonton. Namun yang terjadi pada umumnya, upaya penyaringan tontonan tidak terjadi pada mereka yang berusia remaja maupun anak-anak. Hal inilah yang menjadi dasar dari kehancuran karakter dan perilaku generasi muda.
Terlebih tontonan ini juga telah berhasil meraih perhatian dan menghabiskan waktu para remaja dan anak-anak ketimbang menghabiskan waktunya untuk belajar demi meningkatkan intelektualitas, imajinasi dan kreativitas di dalam hidup mereka.
Terakhir, tentu banyak juga faktor lain yang mempengaruhi terjadinya hal-hal seperti diatas dalam kalangan anak-anak maupun remaja. Namun menurut saya faktor tontonan inilah yang paling mendominasi, karena tontonan yang ditonton tanpa menyaringnya akan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan yang kolektif akan membentuk budaya dalam sebuah kelompok usia maupun lingkungan hidup. Dan itu berbahaya. Terima kasih.