Kritik terhadap Politisi Pelaku Money Politik
Memang tak dapat dipungkiri bahwa uang, finansial sangat dibutuhkan oleh semua orang, namun uang bukanlah tolak ukur segala-galanya. Pemahaman ini jika dilihat dalam prespektif publik sangatlah sulit diterima karena didasari oleh keterbatasan mengenai kebutuhan hidup seseorang sehingga uang menjadi dewa.
Pemahaman ini bukan hanya ada dalam kalangan masyarakat miskin dan sederhana akan tetapi lebih cenderung banyak dipahami oleh kalangan berpangkat, berkedudukan atau kaya raya, yang terlihat menyembah uang, dengan begitu uang menjadi second God dalam kehidupannya.
Bila uang yang dibutuhkan masyarakat miskin dan sederhana, maka kemungkinan besar dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keperluan-keperluan lainnya. Namun bila uang berada di tangan orang berkedudukan berpangkat alias kaya sebagian besar akan membalikkan tujuannya ke arah politik. Dengan begitu kita tidak perlu heran jika seorang politisi di dunia sekarang memiliki latar belakang keuangan yang bagus.
Hal ini terbukti dalam dunia politik kita dari beberapa puluh tahun lalu, semenjak rezim orde baru hingga sekarang era reformasi, walaupun disisi lain ada saja perjuangan untuk menghilangkan kebiasaan yang telah membudaya itu, akan tetapi sayangnya uang masih saja dipahami oleh politisi sebagai pelumas dalam menjalankan tujuan-tujuan politik atau kerja-kerja politik.
Kenyataan ini diperkuat dengan politisi yang enggan melepaskan cara-cara politik dengan memakai uang (money politik), serta minimnya kesadaran masyarakat untuk tidak menjual suaranya dengan selembar kertas rupiah. Dan ditambah kontrol wartawan dan media massa yang terbatas, dan bahkan terbatasi karena pada dasarnya media massa dimiliki oleh seorang pejabat maupun pengusaha dan dalam pengaruh itu maka wartawannya otomatis berada di bawah pemilik tersebut.
Pemahaman ini bukan hanya ada dalam kalangan masyarakat miskin dan sederhana akan tetapi lebih cenderung banyak dipahami oleh kalangan berpangkat, berkedudukan atau kaya raya, yang terlihat menyembah uang, dengan begitu uang menjadi second God dalam kehidupannya.
Bila uang yang dibutuhkan masyarakat miskin dan sederhana, maka kemungkinan besar dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keperluan-keperluan lainnya. Namun bila uang berada di tangan orang berkedudukan berpangkat alias kaya sebagian besar akan membalikkan tujuannya ke arah politik. Dengan begitu kita tidak perlu heran jika seorang politisi di dunia sekarang memiliki latar belakang keuangan yang bagus.
Hal ini terbukti dalam dunia politik kita dari beberapa puluh tahun lalu, semenjak rezim orde baru hingga sekarang era reformasi, walaupun disisi lain ada saja perjuangan untuk menghilangkan kebiasaan yang telah membudaya itu, akan tetapi sayangnya uang masih saja dipahami oleh politisi sebagai pelumas dalam menjalankan tujuan-tujuan politik atau kerja-kerja politik.
Kenyataan ini diperkuat dengan politisi yang enggan melepaskan cara-cara politik dengan memakai uang (money politik), serta minimnya kesadaran masyarakat untuk tidak menjual suaranya dengan selembar kertas rupiah. Dan ditambah kontrol wartawan dan media massa yang terbatas, dan bahkan terbatasi karena pada dasarnya media massa dimiliki oleh seorang pejabat maupun pengusaha dan dalam pengaruh itu maka wartawannya otomatis berada di bawah pemilik tersebut.
Akibatnya Intervensi korporasi sudah dilakukan sebelum dan sesudah lewat kampanye, sudah di setting up sesuai apa yang dikeluarkan atau difasilitasi dengan apa yang dimintakan.
Padahal jika disadari bahwa asumsi awal melaksanakan pemilu secara umum sejujur-jujurnya ketika pasca orde baru adalah sebagai berikut,
Pertama, Mengembalikan kedaulatan langsung kepada pemiliknya rakyat dengan niatan demokrasi yang maksimal
Kedua, Meminimalisir permainan uang dengan asumsi tidak ada kemungkinan karena besarnya jumlah penduduk yang tidak mungkin diberikan uang. Tapi ternyata bisa dengan kehebatan korlap masing-masing kandidat.
Kenyataan inilah yang membuat sebagian besar pemimpin di zaman sekarang, sederhana kesimpulannya dalam pikiran mereka, mereka lebih membangun integritas kepemimpinan berbasis materi bisa jadi tahta atau harta, ketimbang membangun integritas kepemimpinan berbasis ilmu dan iman. Maka itu dapat dilihat mereka kemudian lebih mengedepankan transaksi-transaksi materi.
Disisi ini ketika kita telah diam, maka kita telah melakukan korupsi pemikiran dengan mengikuti pola-pola pragmatisme dengan basis integritas dalam bentuk materi atau kemudian mengakibatkan publik distraksi dan kebodohan berjamaah.
Jadi apakah yang harus kita lakukan untuk meraih keinginan untuk kembali pada masa moral dan nilai telah luluh lantah bersamaan dengan nurani ini?
Padahal jika disadari bahwa asumsi awal melaksanakan pemilu secara umum sejujur-jujurnya ketika pasca orde baru adalah sebagai berikut,
Pertama, Mengembalikan kedaulatan langsung kepada pemiliknya rakyat dengan niatan demokrasi yang maksimal
Kedua, Meminimalisir permainan uang dengan asumsi tidak ada kemungkinan karena besarnya jumlah penduduk yang tidak mungkin diberikan uang. Tapi ternyata bisa dengan kehebatan korlap masing-masing kandidat.
Kenyataan inilah yang membuat sebagian besar pemimpin di zaman sekarang, sederhana kesimpulannya dalam pikiran mereka, mereka lebih membangun integritas kepemimpinan berbasis materi bisa jadi tahta atau harta, ketimbang membangun integritas kepemimpinan berbasis ilmu dan iman. Maka itu dapat dilihat mereka kemudian lebih mengedepankan transaksi-transaksi materi.
Disisi ini ketika kita telah diam, maka kita telah melakukan korupsi pemikiran dengan mengikuti pola-pola pragmatisme dengan basis integritas dalam bentuk materi atau kemudian mengakibatkan publik distraksi dan kebodohan berjamaah.
Jadi apakah yang harus kita lakukan untuk meraih keinginan untuk kembali pada masa moral dan nilai telah luluh lantah bersamaan dengan nurani ini?
Menurut saya, kita harus berani melakukan perubahan budaya memilih dengan landasan kritis dan selektif, Dan kita patut mengatakan pada seluruh masyarakat "publik", bahwa di titik ini yang dapat kita lakukan ialah membersihkan kelompok tertentu itu dengan tidak memberikan kesempatan memegang peranan penting atau jabatan-jabatan penting di negara ini.