Telaah Polemik Gelar King Of Lip Service: Akankah Berujung Pelengseran Atau Semakin Melegitimasi Kekuasan MR. Presiden
Telaah Polemik Gelar King Of Lip Service - Tahukah anda jika polemik nasional yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai postingan Twitter dari akun resmi Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyeret nama orang nomor satu di Indonesia. Yakni Mr. Presiden Joko Widodo, sebagai The King of Lip Service. Postingan kritik ini kemudian ditanggapi langsung oleh Mr. Presiden Joko Widodo seperti berikut:
" Ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi kritik ini ya boleh-boleh saja". Selebihnya Menurut Mr. Presiden, pihak universitas tak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi namun walaupun berekspresi tetap ada tata krama, sopan santun yang harus dipatuhi.
Postingan kritik berbentuk jokes itu, selain mendapatkan respon langsung dari Mr. Presiden, juga mendapat respon dari banyak Tokoh Publik, seperti Politisi dan Pengamat, akademisi "rektor dan dosen" serta masyarakat umum terutama masyarakat dunia maya. Baik secara positif maupun negatif. Semisalnya ada pihak yang menganggap bahwa postingan itu adalah tindakan melecehkan simbol negara seperti yang dilakukan oleh BEM Se-Provinsi Gorontalo dan Rektor Ui, dan ada juga yang menganggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
" Ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi kritik ini ya boleh-boleh saja". Selebihnya Menurut Mr. Presiden, pihak universitas tak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi namun walaupun berekspresi tetap ada tata krama, sopan santun yang harus dipatuhi.
Postingan kritik berbentuk jokes itu, selain mendapatkan respon langsung dari Mr. Presiden, juga mendapat respon dari banyak Tokoh Publik, seperti Politisi dan Pengamat, akademisi "rektor dan dosen" serta masyarakat umum terutama masyarakat dunia maya. Baik secara positif maupun negatif. Semisalnya ada pihak yang menganggap bahwa postingan itu adalah tindakan melecehkan simbol negara seperti yang dilakukan oleh BEM Se-Provinsi Gorontalo dan Rektor Ui, dan ada juga yang menganggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
Respon publik yang demikian ini dapat dikatakan wajar, sebab presiden dalam hal ini adalah subjek publik, entah dinilai secara buruk maupun baik itulah salah konsukuensi yang akan dihadapi oleh seorang pejabat publik.
Kritik swmacam diatas ini tidak hanya datang dari BEM UI namun juga ikut diwarnai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarat (BEM UMY), lewat postingan instagram seperti berikut, "selain The King of Lip Service, jangan-jangan bapak juga The King of Pura-pura atau dapat dimaknai bahwa Mr. Presiden Joko Widodo adalah The King of Pura-Pura. Adapun argumen yang mendasari kritikan dari BEM UMY ialah bahwa sesungguhnya apa yang diperlihatkan oleh Mr. Presiden dapat dijelaskan melalui teori retorika milik Aristoteles, dimana dalam teori tersebut terdapat salah satu senjata utama dalam komunikasi persuasif adalah emosi. Maka menurut BEM UMY, sisi emosional inilah yang dibangun oleh Mr. Presiden sehingga masyarakat merasa bersalah, sedih, simpatik dan menghormatinya.
Di sisi lain pewarna polemik yang lebih radikal adalah seruan revolusi yang datang dari salah satu organisasi eksternal mahasiswa yakni HMI MPO, melalui pamflet yang bermuatan menuntut Mr. Presiden untuk mundur dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu menyelesaikan setiap problem-problem yang dihadapi bangsa Indonesia.
Sesudah gempuran yang bertubi-tubi itu akankah terjadi pelengseran?. Menurut saya polemik ini tak ada bedanya dengan kritikan kepada Mr. Presiden sebelum-sebelumnya seperti kritikan dahulu yang hanya sebentar di goreng oleh media sebagai keuntungan financial lalu menguap dihembus angin ke langit biru dan hilang, tidak lebih daripada itu. Karena jika dilihat dari gerakan yang dibangun BEM UI hingga sampai organisasi ekstra HMI MPO tidak dapat menjadi alasan yang kuat untuk mencuri simpati publik, selama upaya ini tidak disertai dengan gerakan massa maka publik hanya akan bertindak sebagai wasit, padahal publiklah yang diharapkan berperan sebagai pemain utama yang berlaga.
Menurut saya, selama gerakan ini hanya sebatas wacana kritik di dunia maya tanpa mobalisasi massa rill yang besar dan masif maka yang terjadi ialah pelengseran hanya cukup terjadi di dunia maya bukan secara instusi "kenegaraan" atau tidak lengser di dunia nyata. Ditambah gestur tubuh Mr. Presiden dalam menanggapi kritik yang menunjukan dirinya tidak terpancing dengan permainan berburu tikus dalam lubang ini. Artinya Mr. Presiden tidak termakan dengan umpan yang dilempari oleh mahasiswa atau dengan kata lain ia telah terlatih untuk mengelola kritik menjadi kekuatan yang menguntungkan dirinya.
Semua itu dapat dilihat pada sikap yang diperlihatkan oleh Mr. Presiden yang tidak menunjukan dirinya kebal akan kritik, dan menempelkan pernyataannya dengan sebuah kebudayaan Indonesia "tata krama, sopan santun" yang begitu dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.maka dengan begitu simpati publik akan terbelah dan cenderung dilematis dalam menentukan sikap, meskipun sebenarnya mereka juga memiliki keresahan yang. Hasil akhirnya akan berubah apabila Mr. Presiden melawan, maka kritik ini bisa saja menggelinding hingga meruntuhkan singgasananya.
Saya membayangkan bila Mr. Presiden mengambil tindakan untuk memecat Rektor Universitas Indonesia (UI) dari posisinya sebagai seorang komisaris di salah satu Bank di Indonesia dan melepas jabatan Rektor UI dan menjadi dosen pengajar biasa, maka Mr. Presiden akan mendulang dukungan dari masyarakat dan mungkin saja dari sebagian mahasiswa atas keputusan yang diambil. Disitulah letak puncak kemenangan Mr. Presiden atas mahasiswa karena berhasil memanfaatkan potensi pelengseran menjadi potensi tiga periode.
Kritik swmacam diatas ini tidak hanya datang dari BEM UI namun juga ikut diwarnai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarat (BEM UMY), lewat postingan instagram seperti berikut, "selain The King of Lip Service, jangan-jangan bapak juga The King of Pura-pura atau dapat dimaknai bahwa Mr. Presiden Joko Widodo adalah The King of Pura-Pura. Adapun argumen yang mendasari kritikan dari BEM UMY ialah bahwa sesungguhnya apa yang diperlihatkan oleh Mr. Presiden dapat dijelaskan melalui teori retorika milik Aristoteles, dimana dalam teori tersebut terdapat salah satu senjata utama dalam komunikasi persuasif adalah emosi. Maka menurut BEM UMY, sisi emosional inilah yang dibangun oleh Mr. Presiden sehingga masyarakat merasa bersalah, sedih, simpatik dan menghormatinya.
Di sisi lain pewarna polemik yang lebih radikal adalah seruan revolusi yang datang dari salah satu organisasi eksternal mahasiswa yakni HMI MPO, melalui pamflet yang bermuatan menuntut Mr. Presiden untuk mundur dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu menyelesaikan setiap problem-problem yang dihadapi bangsa Indonesia.
Sesudah gempuran yang bertubi-tubi itu akankah terjadi pelengseran?. Menurut saya polemik ini tak ada bedanya dengan kritikan kepada Mr. Presiden sebelum-sebelumnya seperti kritikan dahulu yang hanya sebentar di goreng oleh media sebagai keuntungan financial lalu menguap dihembus angin ke langit biru dan hilang, tidak lebih daripada itu. Karena jika dilihat dari gerakan yang dibangun BEM UI hingga sampai organisasi ekstra HMI MPO tidak dapat menjadi alasan yang kuat untuk mencuri simpati publik, selama upaya ini tidak disertai dengan gerakan massa maka publik hanya akan bertindak sebagai wasit, padahal publiklah yang diharapkan berperan sebagai pemain utama yang berlaga.
Menurut saya, selama gerakan ini hanya sebatas wacana kritik di dunia maya tanpa mobalisasi massa rill yang besar dan masif maka yang terjadi ialah pelengseran hanya cukup terjadi di dunia maya bukan secara instusi "kenegaraan" atau tidak lengser di dunia nyata. Ditambah gestur tubuh Mr. Presiden dalam menanggapi kritik yang menunjukan dirinya tidak terpancing dengan permainan berburu tikus dalam lubang ini. Artinya Mr. Presiden tidak termakan dengan umpan yang dilempari oleh mahasiswa atau dengan kata lain ia telah terlatih untuk mengelola kritik menjadi kekuatan yang menguntungkan dirinya.
Semua itu dapat dilihat pada sikap yang diperlihatkan oleh Mr. Presiden yang tidak menunjukan dirinya kebal akan kritik, dan menempelkan pernyataannya dengan sebuah kebudayaan Indonesia "tata krama, sopan santun" yang begitu dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.maka dengan begitu simpati publik akan terbelah dan cenderung dilematis dalam menentukan sikap, meskipun sebenarnya mereka juga memiliki keresahan yang. Hasil akhirnya akan berubah apabila Mr. Presiden melawan, maka kritik ini bisa saja menggelinding hingga meruntuhkan singgasananya.
Saya membayangkan bila Mr. Presiden mengambil tindakan untuk memecat Rektor Universitas Indonesia (UI) dari posisinya sebagai seorang komisaris di salah satu Bank di Indonesia dan melepas jabatan Rektor UI dan menjadi dosen pengajar biasa, maka Mr. Presiden akan mendulang dukungan dari masyarakat dan mungkin saja dari sebagian mahasiswa atas keputusan yang diambil. Disitulah letak puncak kemenangan Mr. Presiden atas mahasiswa karena berhasil memanfaatkan potensi pelengseran menjadi potensi tiga periode.
Sebaliknya mahasiswa akan terpojokkan dan terasingkan dari kacamata publik, maka menurut saya, sebelum terpojokkan semestinya gerakan harus dilakukan dalam bentuk nyata, karena bertarung melawan penguasa melalui media massa ibarat melempar garam ke laut. Sebab kontrol media sosial maupun berita televisi sebagian besar berada di bawah pengaruh langsung penguasa.
Sebelun menutup, saya ingin mengungkapkan alasan dibalik pemakaian kata Mr. Presiden, semua itu hanya untuk menghindar dari kipasan kekuasan yang tidak pandang bulu itu, karena apalah daya saya yang hanya seorang warga negara yang mudah saja dijadikan mangsa ini.
Sebelun menutup, saya ingin mengungkapkan alasan dibalik pemakaian kata Mr. Presiden, semua itu hanya untuk menghindar dari kipasan kekuasan yang tidak pandang bulu itu, karena apalah daya saya yang hanya seorang warga negara yang mudah saja dijadikan mangsa ini.
Atas perhatiannya saya ucapkan ini dengan sedikit kesal kepada penguasa yang telah putus urat malunya itu, tak ada cara lain selain turun ke jalan, tak ada selogan selain kata Lawan.