Resiko Pandangan Negatif Publik terhadap Transgender
Transgender menurut Wikipedia adalah "orang-orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjuk sejak lahir. Orang transgender juga terkadang disebut sebagai orang transeksual jika ia menghendaki bantuan medis untuk transisi dari satu seks ke seks lainnya".
Transgender memiliki unsur kata gender, gender sendiri merupakan refleksi manusia terhadap dirinya sendiri dan terbentuk dalam peran sosial, tingkah laku, aktivitas serta lingkungan. Maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa transgender adalah seorang yang merasa bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir. Seperti yang terlihat di realita akhir-akhir ini dimana terdapat seorang wanita transgender adalah seorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi orang tersebut merasa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Begitu pula sebaliknya, seorang pria transgender yang semulanya lahir dan hidup dengan memiliki jenis kelamin wanita.
Fenomena transgender ini tentu saja mendapatkan berbagai reaksi didalam kalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh sebagian besar orang belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan transgender atau transeksual. Akibat dari pertentangan yang ada dalam masyarakat begitu sangat kuat dan ditambah dengan stereotip negatif yang disematkan kepada orang-orang transgender.
Berbagai penelitian tentang persepsi publik terhadap keberadaan transgender telah dilakukan oleh lembaga maupun Universitas di Indonesia, namun masih saja menunjukkan angka tinggi disisi penolakan. Sejauh ini yang sangat setuju bahwa transgender bertentangan dengan norma-norma sosial dan agama sebanyak 69 persen, dan sisanya adalah setuju dan sangat tidak setuju.
Biasanya alasan dasar dari penolakan masyarakat dipicu karena pemahaman agama yang disadari dalil-dalil agama dan norma-norma sosial yang selalu dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat daerah ketimbang masyarakat di perkotaan yang cenderung telah membuka diri terkait keberadaan transgender.
Dalam prespektif kesehatan terkait seorang transgender, tidak tergolong sebagai gangguan mental. Meskipun begitu, seorang transgender beresiko tinggi mengalami gangguan mental akibat konflik internal dari dalam dirinya sendiri dan tekanan sosial. Hal ini karena seorang transgender seringkali menyembunyikan identitasnya di lingkungan selama bertahun-tahun lamanya karena takut diterima oleh masyarakat umum. Kondisi-kondisi inilah berhari-hari dialaminya sehingga kebanyakan transgender merasa tertekan, depresi bahkan tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari.
Selebihnya, apakah kondisi internal dan eksternal ini berpengaruh terhadap kehidupan orang-orang transgender ? Tentu saja mendapatkan pengaruh yang besar karena dengan stereotip yang negatif membuat seorang transgender seringkali dibully secara verbal maupun fisik. Tidak banyak yang tahu bahwa kasus-kasus pelecehan yang berkaitan dengan hak asasi manusia lebih banyak di alami oleh pelaku transgender atau transeksual.
Pandangan kebanyakan publik yang menganggap keberadaan transgender sebagai perilaku melawan norma-norma sosial, agama dan bahkan adat istiadat ini sebagai pelengkap yang membuat seseorang transgender bukan saja kehilangan hak untuk berekspresi dan bersosial tetapi kehilangan identitas dirinya sendiri. Walaupun demikian sebagian kecil dari transgender telah berani menunjukkan eksistensinya dengan tidak menghiraukan stereotip yang terbangun mengenai dirinya.
Saya sendiri jika ditanyakan mengenai tanggapan terkait transgender, tentu sepakat dengan pendapat sebagian besar orang yang menilai transgender adalah perilaku yang melanggar norma-norma sosial dan agama. Namun saya tidak sepakat dengan tindakan-tindakan sebagian besar orang yang menghina, membully dan melecehkan seorang transgender. Sebab tindakan ini juga kontradiksi dengan bahasa norma sosial yang mengajarkan saling membantu, mengasihi sesama, atau norma agama yang mengatakan manusia hidup ada campur tangan maha kuasa.
Selebihnya menurut saya, keberadaan transgender jangan hanya dilihat dari sudut pandang pelanggaran-pelanggaran norma-norma sosial dan agama. Tentu jika dilihat hanya dari sudut pandang itu maka akan terus menghadirkan persoalan karena yang ada adalah pertentangan pemahaman maupun tujuan. Maka menurut subjektivitas saya, kita perlu membangun sudut pandang baru, semisalnya melihat keberadaan transgender sebagai perilaku yang dapat dijadikan sebagai poin untuk merefleksikan kehidupan kita masing-masing. Sehingga kebiasaan-kebiasaan membully dan melecehkan digantikan dengan kebiasaan untuk bertindak lebih baik dalam kehidupan sehari-hari kita.
Transgender memiliki unsur kata gender, gender sendiri merupakan refleksi manusia terhadap dirinya sendiri dan terbentuk dalam peran sosial, tingkah laku, aktivitas serta lingkungan. Maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa transgender adalah seorang yang merasa bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir. Seperti yang terlihat di realita akhir-akhir ini dimana terdapat seorang wanita transgender adalah seorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi orang tersebut merasa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Begitu pula sebaliknya, seorang pria transgender yang semulanya lahir dan hidup dengan memiliki jenis kelamin wanita.
Fenomena transgender ini tentu saja mendapatkan berbagai reaksi didalam kalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh sebagian besar orang belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan transgender atau transeksual. Akibat dari pertentangan yang ada dalam masyarakat begitu sangat kuat dan ditambah dengan stereotip negatif yang disematkan kepada orang-orang transgender.
Berbagai penelitian tentang persepsi publik terhadap keberadaan transgender telah dilakukan oleh lembaga maupun Universitas di Indonesia, namun masih saja menunjukkan angka tinggi disisi penolakan. Sejauh ini yang sangat setuju bahwa transgender bertentangan dengan norma-norma sosial dan agama sebanyak 69 persen, dan sisanya adalah setuju dan sangat tidak setuju.
Biasanya alasan dasar dari penolakan masyarakat dipicu karena pemahaman agama yang disadari dalil-dalil agama dan norma-norma sosial yang selalu dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat daerah ketimbang masyarakat di perkotaan yang cenderung telah membuka diri terkait keberadaan transgender.
Dalam prespektif kesehatan terkait seorang transgender, tidak tergolong sebagai gangguan mental. Meskipun begitu, seorang transgender beresiko tinggi mengalami gangguan mental akibat konflik internal dari dalam dirinya sendiri dan tekanan sosial. Hal ini karena seorang transgender seringkali menyembunyikan identitasnya di lingkungan selama bertahun-tahun lamanya karena takut diterima oleh masyarakat umum. Kondisi-kondisi inilah berhari-hari dialaminya sehingga kebanyakan transgender merasa tertekan, depresi bahkan tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari.
Selebihnya, apakah kondisi internal dan eksternal ini berpengaruh terhadap kehidupan orang-orang transgender ? Tentu saja mendapatkan pengaruh yang besar karena dengan stereotip yang negatif membuat seorang transgender seringkali dibully secara verbal maupun fisik. Tidak banyak yang tahu bahwa kasus-kasus pelecehan yang berkaitan dengan hak asasi manusia lebih banyak di alami oleh pelaku transgender atau transeksual.
Pandangan kebanyakan publik yang menganggap keberadaan transgender sebagai perilaku melawan norma-norma sosial, agama dan bahkan adat istiadat ini sebagai pelengkap yang membuat seseorang transgender bukan saja kehilangan hak untuk berekspresi dan bersosial tetapi kehilangan identitas dirinya sendiri. Walaupun demikian sebagian kecil dari transgender telah berani menunjukkan eksistensinya dengan tidak menghiraukan stereotip yang terbangun mengenai dirinya.
Saya sendiri jika ditanyakan mengenai tanggapan terkait transgender, tentu sepakat dengan pendapat sebagian besar orang yang menilai transgender adalah perilaku yang melanggar norma-norma sosial dan agama. Namun saya tidak sepakat dengan tindakan-tindakan sebagian besar orang yang menghina, membully dan melecehkan seorang transgender. Sebab tindakan ini juga kontradiksi dengan bahasa norma sosial yang mengajarkan saling membantu, mengasihi sesama, atau norma agama yang mengatakan manusia hidup ada campur tangan maha kuasa.
Selebihnya menurut saya, keberadaan transgender jangan hanya dilihat dari sudut pandang pelanggaran-pelanggaran norma-norma sosial dan agama. Tentu jika dilihat hanya dari sudut pandang itu maka akan terus menghadirkan persoalan karena yang ada adalah pertentangan pemahaman maupun tujuan. Maka menurut subjektivitas saya, kita perlu membangun sudut pandang baru, semisalnya melihat keberadaan transgender sebagai perilaku yang dapat dijadikan sebagai poin untuk merefleksikan kehidupan kita masing-masing. Sehingga kebiasaan-kebiasaan membully dan melecehkan digantikan dengan kebiasaan untuk bertindak lebih baik dalam kehidupan sehari-hari kita.