Pemikiran Sistem Pendidikan dari Prespektif 3 Tokoh Indonesian
Ketika hendak menerapkan pendidikan yang baik dikala Indonesia masih ada di zaman revolusi, maka langkah yang harus dilakukan pertama kali oleh Indonesia ialah merdeka sebagai sebuah jembatan menuju masyarakat yang cerdas, sejahtera dan sempurna serta menyusun masa depan yang cerah untuk Indonesia.
Seperti ungkapan dari guru dan Tokoh revolusi indonesia Tan Malaka yang berkata dalam bukunya Materialisme Dialektika Logika (MADILOG), "Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu alam itu akan terbelenggu pula". Atas dasar itulah merdeka dari kungkungan kolonial adalah langkah utama untuk maju.
Kini, kita telah merdeka dan menjadi negara berdaulat. Apa kabar kondisi pendidikan kita? Apakah kita telah menemukan nasib yang baik khususnya pendidikan dan apakah kita telah memanfaatkan sebaik-baiknya jembatan masa depan itu?
Menurut Word Bank, partisipasi pendidikan Indonesia dapat dikatakan sangat tinggi, namun sayangnya Indonesia berada dalam peringkat yang sangat rendah, terkait membaca, mata pelajaran Ipa, Matematika (sains) dan kajian-kajian sosial lainnya semisalnya gender, filsafat dan ideologi.
Kenyataan-kenyataan diatas inilah yang menjadi dasar dari beragam pertanyaan atas pendidikan di Indonesia, seakan terlihat bahwa Indonesia belum bisa menemukan sistem yang ideal untuk diterapkan. Padahal sistem pendidikan yang ideal telah ada sejak awal bangsa ini berdiri, di antaranya ialah di bawah ini.
Nah berikut pemikiran pendidikan yang ideal menurut para tokoh :
1. Tan Malaka
Tan Malaka, seorang yang pertama mengajukan pemikiran pendidikan yang ideal dengan berkata bahwa, Pendidikan harus menjadi alat bertahan hidup, sejahtera dan membantu kaum-kaum yang tertindas atau kurang mampu. Secara ideal pendidikan menurut Tan Malaka ialah pendidikan harus bisa untuk membuat masyarakat mampu menghadapi kenyataan hidup dengan berpikir berdasarkan kerasionalan dan tidak mengedepankan pengetahuan gaib serta ilmu alam dan matematika wajib dikuasai.
2. KH. Dewantara
Kemudian hadir KH. Dewantara dengan sistem pendidikan yang disebut Among, yang memandang ilmu alam dan matematika memang harus dikuasai. Akan tetapi menurut KH. Dewantara, tidak semua anak sama minat belajarnya. Maka sistem yang dikemukakan oleh KH. Dewantara mengutamakan unsur-unsur pembelajaran, keterampilan dengan nilai-nilai tradisional yang menjadi batu pengasah keterampilan yang diminati seorang anak, masing-masing anak tidak diwajibkan mendalami seluruh dan memahami seluruh mata pelajaran.
3. R.A Kartini
Kartini hadir dengan membawa warna yang baru dalam penyelengaraan pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan yang diterapkan kala itu hanya berfokus pada kaum lelaki. Maka Kartini lah yang menghadirkan perubahan dengan penuh semangat kesetaraan antara kaum pria dan kaum wanita.
Lalu apa yang menyebabkan sehingga pemikiran ideal dari ketiga tokoh diatas belum juga dirasakan sepenuhnya? Hal ini terlihat dan terjawab dalam perkembangan dan perjalanan bangsa pada orde lama yang saat itu masih mengalami goncangan stabilitas akibat perpecahan dan perang dingin.
Dalam situasi ini, dengan kuantitas guru-guru yang telah ada, lebih memilih untuk mengangkat senjata untuk berjuang ketimbang berfokus pada pendidikan. Setelah itu, dengan kondisi yang masih dalam prosesi berjuang mempertahankan kedaulatan negara, maka pendidikan yang berjalan lebih berfokus pada penanaman patriotisme, sehingga impian pendidikan dari ketiga tokoh tersebut belum juga terealisasi dari masa 1945-1965.
Selanjutnya di era Orde Baru, dimana saat itu pendidikan lebih ditujukan pada proses pembangunan negara. Maka pendidikan cenderung seragam, siswa siswi di alih fokus pada ilmu eksak dan diharapkan mempelajarinya walaupun tidak di minati sehingga ruang pembelajaran seperti kesenian, sosial tertutup dengan rapat. Dinamika ini berada pada rentan tahun 1966 sampai 1998.
Sekarang di era reformasi Indonesia telah berubah secara sistem kenegaraan yang dahulunya sangat sentralistik menuju masa egaliter, akan tetapi Indonesia dalam hal pendidikan belum bisa dikatakan baik. Memang harus diakui bila Indonesia banyak persoalan-persoalan yang kompleks yang belum ada formulasinya.
Seperti ungkapan dari guru dan Tokoh revolusi indonesia Tan Malaka yang berkata dalam bukunya Materialisme Dialektika Logika (MADILOG), "Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu alam itu akan terbelenggu pula". Atas dasar itulah merdeka dari kungkungan kolonial adalah langkah utama untuk maju.
Kini, kita telah merdeka dan menjadi negara berdaulat. Apa kabar kondisi pendidikan kita? Apakah kita telah menemukan nasib yang baik khususnya pendidikan dan apakah kita telah memanfaatkan sebaik-baiknya jembatan masa depan itu?
Menurut Word Bank, partisipasi pendidikan Indonesia dapat dikatakan sangat tinggi, namun sayangnya Indonesia berada dalam peringkat yang sangat rendah, terkait membaca, mata pelajaran Ipa, Matematika (sains) dan kajian-kajian sosial lainnya semisalnya gender, filsafat dan ideologi.
Kenyataan-kenyataan diatas inilah yang menjadi dasar dari beragam pertanyaan atas pendidikan di Indonesia, seakan terlihat bahwa Indonesia belum bisa menemukan sistem yang ideal untuk diterapkan. Padahal sistem pendidikan yang ideal telah ada sejak awal bangsa ini berdiri, di antaranya ialah di bawah ini.
Nah berikut pemikiran pendidikan yang ideal menurut para tokoh :
1. Tan Malaka
Tan Malaka, seorang yang pertama mengajukan pemikiran pendidikan yang ideal dengan berkata bahwa, Pendidikan harus menjadi alat bertahan hidup, sejahtera dan membantu kaum-kaum yang tertindas atau kurang mampu. Secara ideal pendidikan menurut Tan Malaka ialah pendidikan harus bisa untuk membuat masyarakat mampu menghadapi kenyataan hidup dengan berpikir berdasarkan kerasionalan dan tidak mengedepankan pengetahuan gaib serta ilmu alam dan matematika wajib dikuasai.
2. KH. Dewantara
Kemudian hadir KH. Dewantara dengan sistem pendidikan yang disebut Among, yang memandang ilmu alam dan matematika memang harus dikuasai. Akan tetapi menurut KH. Dewantara, tidak semua anak sama minat belajarnya. Maka sistem yang dikemukakan oleh KH. Dewantara mengutamakan unsur-unsur pembelajaran, keterampilan dengan nilai-nilai tradisional yang menjadi batu pengasah keterampilan yang diminati seorang anak, masing-masing anak tidak diwajibkan mendalami seluruh dan memahami seluruh mata pelajaran.
3. R.A Kartini
Kartini hadir dengan membawa warna yang baru dalam penyelengaraan pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan yang diterapkan kala itu hanya berfokus pada kaum lelaki. Maka Kartini lah yang menghadirkan perubahan dengan penuh semangat kesetaraan antara kaum pria dan kaum wanita.
Lalu apa yang menyebabkan sehingga pemikiran ideal dari ketiga tokoh diatas belum juga dirasakan sepenuhnya? Hal ini terlihat dan terjawab dalam perkembangan dan perjalanan bangsa pada orde lama yang saat itu masih mengalami goncangan stabilitas akibat perpecahan dan perang dingin.
Dalam situasi ini, dengan kuantitas guru-guru yang telah ada, lebih memilih untuk mengangkat senjata untuk berjuang ketimbang berfokus pada pendidikan. Setelah itu, dengan kondisi yang masih dalam prosesi berjuang mempertahankan kedaulatan negara, maka pendidikan yang berjalan lebih berfokus pada penanaman patriotisme, sehingga impian pendidikan dari ketiga tokoh tersebut belum juga terealisasi dari masa 1945-1965.
Selanjutnya di era Orde Baru, dimana saat itu pendidikan lebih ditujukan pada proses pembangunan negara. Maka pendidikan cenderung seragam, siswa siswi di alih fokus pada ilmu eksak dan diharapkan mempelajarinya walaupun tidak di minati sehingga ruang pembelajaran seperti kesenian, sosial tertutup dengan rapat. Dinamika ini berada pada rentan tahun 1966 sampai 1998.
Sekarang di era reformasi Indonesia telah berubah secara sistem kenegaraan yang dahulunya sangat sentralistik menuju masa egaliter, akan tetapi Indonesia dalam hal pendidikan belum bisa dikatakan baik. Memang harus diakui bila Indonesia banyak persoalan-persoalan yang kompleks yang belum ada formulasinya.
Jadi, siapakah yang harus disalahkan dalam keterlambatan ini ? Menurut saya, jika melihat secara sekilas, Indonesia tidak kekurangan atau kehilangan murid cerdas atau guru-guru yang kompeten. Indonesia hanya belum memiliki sistem pendidikan yang kondusif, sehingga dapat meningkatkan bakat dan minat siswa maupun kompetensi dari para guru-guru.
Terus apa yang harus dilakukan ? Bagi saya upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas diri ecara individu perlu dikembangkan secara personal sembari menunggu sistem pendidikan yang di cari formulasinya. Sebab jika kita menunggu di sediakan makanan "pendidikan" untuk kita terus menerus maka bersiaplah untuk mati dalam kelaparan. Terima kasih