Mengungkap Keberadaan Para Penghianat Intelektual
Siapakah si penghianat Intelektual hari ini ? atau manakah kelompok penghianat intelektual dewasa kini ? Pertanyaan hampir sama yang pernah dilontarkan Julian Benda dalam karyanya Penghianat Kaum Intelektual (1920).
Instrumen manusia paling berharga yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia ialah Akal dan hati. Tuhan, dari berbagai kalimat kalamnya berulang kali mengatakan manusia harus hidup dengan menggunakan akal dan merugilah bagi manusia yang tidak mau merenungi segala tindak tandusnya di muka bumi. Hal ini juga yang dipegang sebagai pembeda antara manusia dan binatang.
Jika melihat dalam proses peningkatan dan penajaman terkait akal manusia maka di titikberatkan pada pendekatan instrumen pendidikan, dimana di dalam pendidikan itu terdapat pendidikan yang mengarah pada penajaman intelektual dan spiritual. Sehingga terciptalah kelompok yang di sebut akademisi dengan ciri khas intelektual dan spiritual yang tinggi. Pada tahapan inilah tertuju harapan besar untuk mendistribusikan kemampuan intelektualnya demi kepentingan masyarakat.
Terkait intelektual atau kelompok intelektual di atas, menurut Antonio Gramsci, intelektual dibaginya menjadi dua kategori, yaitu Intelektual tradisional dan Intelektual Organik. Dimana intelektual tradisional adalah mereka (kelompok) yang bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat agar mengesahkan ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah.
Instrumen manusia paling berharga yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia ialah Akal dan hati. Tuhan, dari berbagai kalimat kalamnya berulang kali mengatakan manusia harus hidup dengan menggunakan akal dan merugilah bagi manusia yang tidak mau merenungi segala tindak tandusnya di muka bumi. Hal ini juga yang dipegang sebagai pembeda antara manusia dan binatang.
Jika melihat dalam proses peningkatan dan penajaman terkait akal manusia maka di titikberatkan pada pendekatan instrumen pendidikan, dimana di dalam pendidikan itu terdapat pendidikan yang mengarah pada penajaman intelektual dan spiritual. Sehingga terciptalah kelompok yang di sebut akademisi dengan ciri khas intelektual dan spiritual yang tinggi. Pada tahapan inilah tertuju harapan besar untuk mendistribusikan kemampuan intelektualnya demi kepentingan masyarakat.
Terkait intelektual atau kelompok intelektual di atas, menurut Antonio Gramsci, intelektual dibaginya menjadi dua kategori, yaitu Intelektual tradisional dan Intelektual Organik. Dimana intelektual tradisional adalah mereka (kelompok) yang bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat agar mengesahkan ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah.
Dengan kata lain kaum intelektual ini memanfaatkan kemampuannya untuk mendukung kelas penguasa. Seperti, mereka para Pemimpin institusi, Dosen atau Guru, Pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan.
Dan kedua Intelektual Organik yakni mereka yang dengan kesadaran diri dan kemampuan. Baik pengetahuan maupun basis massa melakukan serta mengambil langkah untuk membuka kesadaran perlawanan terhadap agenda atau kebijakan-kebijakan penguasa yang dirasanya tidak berpihak pada kebenaran.
Dan dalam buku yang berjudul Paradoks Reformasi, Karya Afrianto Nurdin Mengkategorikan intelektualitas dalam tiga bagian :
Dan kedua Intelektual Organik yakni mereka yang dengan kesadaran diri dan kemampuan. Baik pengetahuan maupun basis massa melakukan serta mengambil langkah untuk membuka kesadaran perlawanan terhadap agenda atau kebijakan-kebijakan penguasa yang dirasanya tidak berpihak pada kebenaran.
Dan dalam buku yang berjudul Paradoks Reformasi, Karya Afrianto Nurdin Mengkategorikan intelektualitas dalam tiga bagian :
1. Intelektual administrasi yaitu orang-orang yang secara umum bekerja sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
2. Intelektual profesional, yaitu orang orang yang merefleksikan keadaan sosial demi kepentingan pribadi.
3. Intelektual organik adalah mereka yg sadar akan berbagai bentuk penindasan, kemudian mendeklarasikan diri untuk menentang hal tersebut. Intelektual yang dimaksudkan dalam karyanya ini sekaligus mencoba mendekatkan posisi akademisi ke dalam tiga kategori intelektual di atas.
Namun jika dilihat dalam realita saat ini. Telah terjadi pembususkan moral di sebagian besar kampus yang membanggakan almamaternya. Penelitian atas nama intelektual bukan lagi untuk kemanusiaan, tapi untuk individualisme akut yang muaranya adalah tepuk tangan dan sekedar penghargaan. Pembelajaran diadakan hanya untuk mendulang rupiah. Dengan menghadirkan diktat untuk menambah beban keuangan mahasiswa, dan tidak jarang diktat-diktat itu hasil plagiat, sehingga merekalah penghianat intelektual sesungguhnya.
Apa lagi ditubuh calon intelektual "mahasiswa" dalam pemberdayaan kemampuannya untuk masyarakat lewat pelaksanaan lapangan yang disebut Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Kuliah Kerja Tunggal (KKT) yang bersifat sebagai pembelajaran dan pendampingan itu, terjadi hanya untuk memburu honorarium, mahasiswa melakukannya hanya untuk angka-angka "nilai" yang hanya bisa menjamin kelulusan. bukan kontribusi kongkrit untuk masyarakat. Dengan demikian, gagasan Tridharma perguruan tinggi hanya petuah di bibir, untuk mengantarkan mahasiswa pada tidur yang nyenyak namun sia-sia.
Maka dengan kenyataan di atas, tidak heran bila sebagian besar lulusan-lulusan perguruan tinggi hanya menjadi sampah di tengah masyarakat. Dimana para sarjana ke sana kemari hanya mengharapkan selembaran kertas sebagai bukti tanpa kualitas yang bisa diharapkan oleh negara maupun masyarakat. Dengan kata lain sebagian besar sarjana yang dihasilkan oleh pendidikan yang absurd di atas hanya bisa membawa lamaran namun tidak diikuti dengan kualitas diri. Akibatnya hanya menambah persen (%) di dalam jumlah pengangguran dan gagal menebar solusi dibalik kompleksitas permasalahan masyarakat.
Ada yang katanya aktivis, namun mengekor pada kepentingan pragmatis birokrasi maupun partai politik, dengan dalih Erdogan "ketika orang baik tidak masuk dalam sistem maka orang jahatlah yang mengisinya", namun realitanya tak ada satu pun bukti ketika mereka masuk ke dalam sistem yang bisa membangun kultur berbasis idealis.
Kondisi-kondisi di atas ini di perparah dengan tingkah laku pejabat publik dan para politisi yang bergelar akademis yang mentereng terjerat kasus hukum, baik korupsi, suap dan pencucian uang yang begitu banyak. Dan lebih menyedihkan lagi perilaku nista seperti ini telah mengakar sampai di gedung-gedung penegak hukum yang di amanatkan untuk menjaga kebenaran tetap di dalam jalurnya.
Maka di saat ini, jika melihat posisi gagasan Paulo Freire, Ki hajar Dewantara dan Tan Malaka tentang pendidikan yang berpihak pada kebenaran dan kepentingan rakyat hanya ada di langit. Kenyataan tentang pendidikan di atas inilah yang membentuk dan melahirkan para calon-calon penghianat intelektual.
2. Intelektual profesional, yaitu orang orang yang merefleksikan keadaan sosial demi kepentingan pribadi.
3. Intelektual organik adalah mereka yg sadar akan berbagai bentuk penindasan, kemudian mendeklarasikan diri untuk menentang hal tersebut. Intelektual yang dimaksudkan dalam karyanya ini sekaligus mencoba mendekatkan posisi akademisi ke dalam tiga kategori intelektual di atas.
Namun jika dilihat dalam realita saat ini. Telah terjadi pembususkan moral di sebagian besar kampus yang membanggakan almamaternya. Penelitian atas nama intelektual bukan lagi untuk kemanusiaan, tapi untuk individualisme akut yang muaranya adalah tepuk tangan dan sekedar penghargaan. Pembelajaran diadakan hanya untuk mendulang rupiah. Dengan menghadirkan diktat untuk menambah beban keuangan mahasiswa, dan tidak jarang diktat-diktat itu hasil plagiat, sehingga merekalah penghianat intelektual sesungguhnya.
Apa lagi ditubuh calon intelektual "mahasiswa" dalam pemberdayaan kemampuannya untuk masyarakat lewat pelaksanaan lapangan yang disebut Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Kuliah Kerja Tunggal (KKT) yang bersifat sebagai pembelajaran dan pendampingan itu, terjadi hanya untuk memburu honorarium, mahasiswa melakukannya hanya untuk angka-angka "nilai" yang hanya bisa menjamin kelulusan. bukan kontribusi kongkrit untuk masyarakat. Dengan demikian, gagasan Tridharma perguruan tinggi hanya petuah di bibir, untuk mengantarkan mahasiswa pada tidur yang nyenyak namun sia-sia.
Maka dengan kenyataan di atas, tidak heran bila sebagian besar lulusan-lulusan perguruan tinggi hanya menjadi sampah di tengah masyarakat. Dimana para sarjana ke sana kemari hanya mengharapkan selembaran kertas sebagai bukti tanpa kualitas yang bisa diharapkan oleh negara maupun masyarakat. Dengan kata lain sebagian besar sarjana yang dihasilkan oleh pendidikan yang absurd di atas hanya bisa membawa lamaran namun tidak diikuti dengan kualitas diri. Akibatnya hanya menambah persen (%) di dalam jumlah pengangguran dan gagal menebar solusi dibalik kompleksitas permasalahan masyarakat.
Ada yang katanya aktivis, namun mengekor pada kepentingan pragmatis birokrasi maupun partai politik, dengan dalih Erdogan "ketika orang baik tidak masuk dalam sistem maka orang jahatlah yang mengisinya", namun realitanya tak ada satu pun bukti ketika mereka masuk ke dalam sistem yang bisa membangun kultur berbasis idealis.
Kondisi-kondisi di atas ini di perparah dengan tingkah laku pejabat publik dan para politisi yang bergelar akademis yang mentereng terjerat kasus hukum, baik korupsi, suap dan pencucian uang yang begitu banyak. Dan lebih menyedihkan lagi perilaku nista seperti ini telah mengakar sampai di gedung-gedung penegak hukum yang di amanatkan untuk menjaga kebenaran tetap di dalam jalurnya.
Maka di saat ini, jika melihat posisi gagasan Paulo Freire, Ki hajar Dewantara dan Tan Malaka tentang pendidikan yang berpihak pada kebenaran dan kepentingan rakyat hanya ada di langit. Kenyataan tentang pendidikan di atas inilah yang membentuk dan melahirkan para calon-calon penghianat intelektual.