Konsep Tuhan dalam Pandangan Sigmund Freud

Sigmund Freud, dalam dunia pengetahuan siapakah yang tidak pernah mendengar nama seorang psikoanalisis yang lahir di Forsberg, Austria ini. Telah banyak pemikiran yang tertuang dalam berbagai genre buku. dan bagaimana hebatnya ia mengurai analisisnya terkait psiko yang menjadi landasan dunia modern itu, namun tidak semua orang yang pernah perhatikan bahwa ternyata Freud juga pernah membicarakan eksistensi Tuhan dalam prespektifnya. Walaupun tidak seterkenal uaraian pemikiran lainnya, akan tetapi wajib diketahui karena terlihat unik dan imajinatif.

Freud membangun gagasannya tentang Tuhan ini dengan bercerita tentang konsep Tuhan dalam agama Yudeo-Kristen berasal dari figur ayah yang jauh lebih tua dan jauh lebih primitif. Katanya sang ayah merupakan sosok yang super otoriter termuat dalam konsep Freud tentang gerombolan primal. Dimana dalam cerita Freud, gerombolan primal ini adalah suatu klan yang hidup pada zaman batu. Gerombolan itu hidup dibawah pemimpin ayah "pria" yang menyimpan semua perempuan untuk dirinya.

Terkait uraian gagasannya ini ditulis dalam bukunya yang berjudul, Totem and Tabo. Selebihnya Freud mengatakan bahwa gerombolan primal ini terlalu takut untuk menentang sikap tirani sang ayah. Sebagai gerombolan yang lemah mereka mengalami konflik batin yang luar biasa sambil menekankan desak-desakan seksual yang agresif, lalu melanjutkan kehidupannya dengan kepatuhan dan ketergantungan pada sosok ayah tirani tersebut.

Akan tetapi seperjalanan hidupnya, sebagian gerombolan terkadang memiliki hasrat untuk membebaskan diri dari sosok ayah yang otoriter itu. Sebagian menemukan kemerdekaannya dengan membunuh ayah mereka sendiri dan memakannya, sedangkan yang lain dengan menjadi homoseksualitas. Walaupun setelah berhasil membunuh ayahnya, mereka akan merasa bersalah dan kembali berkeinginan untuk mendapatkan dari sang ayah.

Hingga pada suatu titik tertentu. Sosok ayah yang sangat otoriter dan kuat ini menjadi entitas abstrak yang kemudian disebut Tuhan oleh kita sekarang. Keseluruhan drama primitif ini akhirnya di formalkan menjadi sebuah sistem kepercayaan dan sebuah rangkaian pemujaan yang beradab. Bahkan dipercaya sampai hari ini dan masih banyak orang yang masih memakan Tuhan yang terbunuh dalam perjamuan Kudus.

Bagi Freud, totemisme merupakan perantara dalam proses abstraksi diatas. Pola psikologis yang mendasarinya tetap sebagai bagian paling regresif kita dan jika hadir selalu dipenuhi perasaan agama. Maka Freud mengklaim bahwa orang-orang yang dibawah agama sama seperti anak-anak tak berdaya di hadapan sang ayah yang dalam bahasa Freud adalah Tuhan.

Dalam kehidupannya, Sigmund Freud memilih sikap beragamanya dengan menjadi seorang ateis, walaupun sebenarnya garis geneologi-nya adalah seorang Yahudi. Freud menolak konsep Tuhan yang lahir dari pada pemahaman kalangan kaum beragama yang melahirkan dan mengadakan simbol dan ikon-ikon Tuhan dengan sifat kebapak-bapakan. Dalam hal ini, Freud menekankan bahwa sikap manusia didasari oleh dorongan libidinal (kebutuhan untuk menyesuaikan diri), dan pandangan ini juga didasari oleh psikoanalisis Freud yang tidak biasa menempatkan hakikat fisik dalam kesadaran. Akan tetapi Freud memandang kesadaran sebagai suatu sifat psikis yang mungkin ada disamping sifat-sifat lain.

Selebihnya agar dapat memahami Tuhan, Freud mengemukakan dua tesis yakni. Tesis pertama, manusia mempunyai kehendak berkuasa yang sangat besar. Sebab bagi manusia, alam merupakan entitas yang diciptakan untuk dikuasai. Ketika gagal dalam upaya-upayanya manusia akan sadar bahwa terdapat atau ada hak besar yang lebih hebat dari manusia. Tesis kedua, manusia menamai hal yang lebih besar dan hebat sebagai Tuhan, karena manusia tidak dapat mengimajinasikan dengan bentuk lain selain (Yang Tak Terkalahkan), pemahaman ini kemudian menempatkan manusia pada dominasi yang sebelumnya pernah mereka temukan pada sosok ayah.

Pandangan Sigmund Freud

Maka atas semua penjelasan Freud diatas dapat bahwa hubungan antara Tuhan dan Manusia dalam pandangan Freud terbentuk melalui relasi Anak dan Ayah. Diketahui bila Freud membangun gagasannya ini karena memiliki pengalaman masa kecil yang membuatnya terjebak pada pengalaman ayahnya yang memiliki perkawinan yang dirahasiakan atau setidaknya 3 istri yang diketahui Freud dan ditambah situasi kecemburuan dirinya kepada ayahnya ketika dirinya menderita Aedipos Compleks di usia 5 tahun.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel