Paradoks dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Mendiskusikan perihal Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, maka kita tentunya akan membahas terkait dinamika sosial dan realitas politik selama pelaksanaan pemilihan di suatu daerah. Biasanya, dinamika sosial yang terletak pada lapisan masyarakat begitu beragam, namun yang sering kali menonjol yaitu partisipan politik yang tak jarang menimbulkan gesekan- gesekan sosial yang dapat menuju pada potensi konflik fisik maupun perasaan yang berkepanjangan sesama partisipan. Secara umum praktik seperti diatas selalu terlihat pada setiap Pilkada namun yang membedakan ialah kadar potensi konfliknya.

Secara realitas politik, kita dapat mengatakan kerja-kerja politik di daerah wajib ditingkatkan dari segi pemahaman yang berbasis kualitas politik yang menjunjung esensi dibalik pelaksanaan Pilkada. Sebab masih banyak terdapat oknum-oknum politisi yang kedapatan melakukan praktek money politics dan bahkan ada yang memilih memainkan isu-isu Suku, Agama dan Ras (SARA), untuk memenangkan kontetasi politik. 

Maka tak heran banyak hasil Pilkada selalu masuk dalam ruangan Mahkamah Agung (MA). Atau hal seperti diatas akan memancing perasaan kolektif yang menjurus pada perilaku anarkisme. Dimana realitas ini mengakibatkan kualitas politik tidak berkembang sebagaimana mestinya, sekalipun upaya-upaya sosialisasi Pilkada dari pelaksana selalu dilakukan.

Sisi lain sebagian besar orang, baik pelaksana Pilkada, Peserta dan Partisipan seakan-akan hanya memandang bahwa Pelaksanaan Pilkada merupakan rangkaian kontestasi politik yang dapat dikatakan berakhir jika telah di menangkan oleh para satu kandidat tertentu, dengan cara status mengungguli perolehan suara terbanyak kemudian dilantik menjadi seorang kepala daerah. 

Padahal jika dilihat lebih kritis, agenda terbesarnya bukanlah sekedar meraih suara dalam masa-masa kampanye atau sekedar menang Pilkada dan juga bukan hanya sebuah pencapaian dari kerja keras calon yang harus dibanggakan. akan tetapi kemenangan pilkada adalah jembatan waktu dimana seseorang yang terpilih wajib bekerja sesuai apa yang diamanatkan oleh Undang-undang dan rakyatnya .

Sayangnya, di sepanjang satu dasawarsa terakhir terlihat bahwa sebagian orang memahami makna dibalik proses politik Pilkada hanya sebatas kontestasi untuk memperoleh kekuasaan dan jabatan, baik dari politisi maupun rakyatnya yang menganggap perannya telah selesai bersamaan dengan berakhirnya masa Pilkada. 

Akibatnya, tujuan-tujuan seperti mensejahterakan rakyat, menghadirkan keadilan bagi rakyat hanya sekedar sebagai obrolan politis dan lebih mengkhawatirkan ialah disisi rakyat, yang akan memahami pekerjaan dalam membangun sebuah daerah hanya dijalankan oleh seorang kepala daerah saja.

Pemahaman yang sungguh-sungguh disayangkan.tentu dibalik itu ada orang-orang yang mengharapkan bahwa pelaksanaan Pilkada harus lebih membaik kedepannya. Namun sayangnya selama ini menurut saya upaya-upaya perbaikan hanyalah menyentuh pada metode pelaksanaan Pilkada dan tidak menyentuh pada ranah pemahaman yang lebih fundamental.

Sebagai contoh pelaksana Pilkada hanya akan mensosialisasikan metode pelaksana dan menunjukkan sanksi-sanksi dari pelanggaran Pilkada. Hal ini diperparah dengan metode para kelompok pemenang yang cenderung pragmatis. Akibatnya sebaguan masyarakat lebih cenderung oportunis setiap kali adanya pelaksanaan Pilkada.
 
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)

Asumsi ini memiliki kekurangan karena didasari oleh pengalaman selama mengamati pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah. Maka dari itu apresiasi sebesar-besarnya kepada para orang-oranh yang memiliki niat baik untuk merubah tampilan seperti di atas. Terimakasih

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel