Membaca Sejarah : Sebagai Refleksi dan Kritik terhadap Dinamika Sosial Indonesia
Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang menuju daerah perkotaan, terdapat berjejeran bendera di ujung ranting pohon-pohon depan rumah warga yang berkibar gagah dengan mengikuti arah angin. tapi sayang, bendera yang banyak itu bukan bendera bangsa Indonesia (Merah Putih) melainkan bendera bangsa Eropa. Mungkin dipajang oleh penggemar sepakbola karena baru selesainya pergelaran Euro Cup. Tentu ini bukan kesalahan yang fatal dalam aspek hukum karena merupakan sebuah bentuk ekspresi pecinta Sepak Bola.
Namun hal ini mengkhawatirkan karena berpotensi menggoyahkan pada aspek etika bernegara dan aspek psikologi sosial seseorang. Sebab dalam perspektif etika bernegara, tindakan-tindakan di atas dapat menyinggung pihak-pihak lain terlebih para pejuang-pejuang kemerdekaan dahulu dan sekaligus mengantarkan psikologi seseorang tertentu untuk lebih tahu bangsa yang di idolakan ketimbang bangsanya sendiri, akibatnya kecintaannya juga ikut menurun dengan sendirinya.
Jadi, apakah yang harus dilakukan untuk menjaga kecintaan dan semangat patriotisme? Salah satunya melihat serta mengingat masa-masa penjajahan yang memakan banyak korban hanya untuk dapat mengibarkan bendera merah putih. Kenapa begitu mudanya kita mengibarkan bendera lain dengan begitu tinggi ?
Namun hal ini mengkhawatirkan karena berpotensi menggoyahkan pada aspek etika bernegara dan aspek psikologi sosial seseorang. Sebab dalam perspektif etika bernegara, tindakan-tindakan di atas dapat menyinggung pihak-pihak lain terlebih para pejuang-pejuang kemerdekaan dahulu dan sekaligus mengantarkan psikologi seseorang tertentu untuk lebih tahu bangsa yang di idolakan ketimbang bangsanya sendiri, akibatnya kecintaannya juga ikut menurun dengan sendirinya.
Jadi, apakah yang harus dilakukan untuk menjaga kecintaan dan semangat patriotisme? Salah satunya melihat serta mengingat masa-masa penjajahan yang memakan banyak korban hanya untuk dapat mengibarkan bendera merah putih. Kenapa begitu mudanya kita mengibarkan bendera lain dengan begitu tinggi ?
Tahukah kita, di zaman itu jangankan mengibarkan bendera merah putih, berbicara mengenai perjuangan kemerdekaan, setingkat mengobrol harus dilakukan dengan suara setengah berbisik, karena tak ingin ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan penjajah, para pekerja di upahkan secara tidak layak dan bahkan ada yang dipekerjakan secara paksa. Akan tetapi dari semua perihal di atas yang paling berharga dalam peristiwa-peristiwa sekacau dan serumit itu adalah kecintaan akan tanah air, kemampuan berjuang dan tak kehilangan akal sehat untuk membelot pada penjajah.
Dengan pengetahuan yang lebih mendasar, kita semua tahu para pejuang bukanlah orang-orang yang gemar mementingkan diri sendiri, lantaran itulah kita paham pendirian mereka yang kukuh. Mereka tak pernah sedikitpun terpikat pada rayu dan tawaran kerja sama dalam pihak penjajah. Sifat patriotisme atas keinginan untuk merdeka begitu dijunjung tinggi sebagai kesopanan, etika publik. Dan Dalam jiwa raga mereka "psikis", tidak kita temukan sedikitpun aroma oportunis lebih-lebih sebagai penghianatan bagi bangsanya sendiri, tidak tercemar oleh tingkah politik kotor, ambisi pribadi dan perangai tidak patut dicontohi lainya.
Lalu apa kabar pejuang-pejuang negara kita di waktu sekarang ini?. Perjuangan kali ini telah bedah, perjuangan hari ini adalah perjuangan akan hak masyarakat untuk hidup sejahtera. Sekarang para pemangku kekuasaan yang dimaknai sebagai pejuang negara dan pembela hak rakyat nyaris tidak terlihat para politisi menyuguhkan sesuatu yang secara hikmat kita tiru, kepentingan politik individu, kelompok di budidayakan seperti politik balas budi zaman penjajahan.
Hal ini diperparah dengan wajah dan nama baru para kolonialisme yang menjajah bangsa-bangsa lain dengan sebutan Kapitalisme, Liberalisasi pasar (pasar bebas) dan Privatisasi. Kita juga tahu seluruh perihal itu selalu berakhir dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan untuk negara-negara yang dijadikan pion karena sumber daya alam yang melimpah.
Maka di saat ini kita tentu membutuhkan figur publik yang berkarakter pejuang di masa lalu sehingga menjadi contoh dalam membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Ketika kita berupaya menemukan sosok inspiratif, maka kita harus berani melihat lebih kritis setiap sosok yang tampil di publik, dan secara probability generasi sekarang adalah calon-calon figur yang bisa melawan ataupun mengembangi modernitas. Sehingga kita tidak semestinya berkeluh kesah berkepanjangan karena justru sikap seperti itu dianggap sebagai bentuk rengekan anak bayi. Kita juga setidaknya bukan hanya bisa mengibarkan bendera bangsa lain setinggi pohon, kita juga harus bisa meninggikan sikap patriotisme dengan landasan intelektualitas sehingga dapat mencapai harapan dan keinginan pasca merdeka diatas.
Selebihnya, lumrah bagi saya merasa khawatir ketika melihat bendera-bendera negara lain berkibar dengan gagahnya. Bukanlah meragukan sikap patriotisme pemasang bendera. Namun lebih pada sebuah bentuk kesadaran bahwa separahkah itu bangsa kita? Dan alasan lain adalah potensi-potensi buruk dibalik pemasangan bendera itulah yang di khawatirkan oleh saya. Walaupun tindakan itu unik dan ada potensi baiknya. Disisi lain saya juga memaklumi jika sebagian orang mengkritik saya karena dalam pandangan negara demokrasi, hal ini dianggap membatasi hak pribadi mereka.
Dengan pengetahuan yang lebih mendasar, kita semua tahu para pejuang bukanlah orang-orang yang gemar mementingkan diri sendiri, lantaran itulah kita paham pendirian mereka yang kukuh. Mereka tak pernah sedikitpun terpikat pada rayu dan tawaran kerja sama dalam pihak penjajah. Sifat patriotisme atas keinginan untuk merdeka begitu dijunjung tinggi sebagai kesopanan, etika publik. Dan Dalam jiwa raga mereka "psikis", tidak kita temukan sedikitpun aroma oportunis lebih-lebih sebagai penghianatan bagi bangsanya sendiri, tidak tercemar oleh tingkah politik kotor, ambisi pribadi dan perangai tidak patut dicontohi lainya.
Lalu apa kabar pejuang-pejuang negara kita di waktu sekarang ini?. Perjuangan kali ini telah bedah, perjuangan hari ini adalah perjuangan akan hak masyarakat untuk hidup sejahtera. Sekarang para pemangku kekuasaan yang dimaknai sebagai pejuang negara dan pembela hak rakyat nyaris tidak terlihat para politisi menyuguhkan sesuatu yang secara hikmat kita tiru, kepentingan politik individu, kelompok di budidayakan seperti politik balas budi zaman penjajahan.
Hal ini diperparah dengan wajah dan nama baru para kolonialisme yang menjajah bangsa-bangsa lain dengan sebutan Kapitalisme, Liberalisasi pasar (pasar bebas) dan Privatisasi. Kita juga tahu seluruh perihal itu selalu berakhir dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan untuk negara-negara yang dijadikan pion karena sumber daya alam yang melimpah.
Maka di saat ini kita tentu membutuhkan figur publik yang berkarakter pejuang di masa lalu sehingga menjadi contoh dalam membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Ketika kita berupaya menemukan sosok inspiratif, maka kita harus berani melihat lebih kritis setiap sosok yang tampil di publik, dan secara probability generasi sekarang adalah calon-calon figur yang bisa melawan ataupun mengembangi modernitas. Sehingga kita tidak semestinya berkeluh kesah berkepanjangan karena justru sikap seperti itu dianggap sebagai bentuk rengekan anak bayi. Kita juga setidaknya bukan hanya bisa mengibarkan bendera bangsa lain setinggi pohon, kita juga harus bisa meninggikan sikap patriotisme dengan landasan intelektualitas sehingga dapat mencapai harapan dan keinginan pasca merdeka diatas.
Selebihnya, lumrah bagi saya merasa khawatir ketika melihat bendera-bendera negara lain berkibar dengan gagahnya. Bukanlah meragukan sikap patriotisme pemasang bendera. Namun lebih pada sebuah bentuk kesadaran bahwa separahkah itu bangsa kita? Dan alasan lain adalah potensi-potensi buruk dibalik pemasangan bendera itulah yang di khawatirkan oleh saya. Walaupun tindakan itu unik dan ada potensi baiknya. Disisi lain saya juga memaklumi jika sebagian orang mengkritik saya karena dalam pandangan negara demokrasi, hal ini dianggap membatasi hak pribadi mereka.