Kasak - Kusuk dibalik Politik Daerah Tingkat II
Pembahasan ini akan terlihat subjektif, meskipun ada pada realita dalam perpolitikan daerah tingkat II. yang saya maksudkan adalah cara berpolitik "balas dendam" dan budaya "lingkaran setan" kepada lawan politik di daerah tingkat II. Ini merupakan pembahasan yang cukup sensitif dan mungkin menyinggung banyak pihak terutama aktor, pelaku dan tokoh politik di daerah-daerah tingkat II.
Namun saya berinisiatif melontarkan argumentasi-argumentasi berdasarkan pengalaman selama mengamati berjalannya pola perpolitikan di setiap pemerintahan daerah tingkat II dan cara-cara mempertahankan kekuasaan politik di daerah tingkat II.
Kontestasi politik daerah-daerah tingkat II, semisal Pilkada, Pilwako selalu menjadi arena yang penuh dengan intrik dan meninggal bekas luka pada kubu yang kalah. Sebab pertarungan bukan hanya menyeret tokoh-tokoh politik untuk berperan sebagai aktor strategi dan taktik namun juga menyeret Aparatur Sipil Negara (ASN), bahkan petugas negara lainnya.
Kontestasi politik daerah-daerah tingkat II, semisal Pilkada, Pilwako selalu menjadi arena yang penuh dengan intrik dan meninggal bekas luka pada kubu yang kalah. Sebab pertarungan bukan hanya menyeret tokoh-tokoh politik untuk berperan sebagai aktor strategi dan taktik namun juga menyeret Aparatur Sipil Negara (ASN), bahkan petugas negara lainnya.
Tentu cara-cara seperti ini bukan hanya dilakukan pada daerah-daerah tingkat II, tetapi dipakai juga pada skala daerah tingkat I (provinsi) maupun skala nasional. Namun tidaklah kental dan frontal seperti yang terlihat di daerah tingkat II, secara pelaksanaan dan cara menyingkirkan lawan politik.
Di daerah-daerah tingkat II, sangatlah terlihat dalam realita sosial politik, dimana ASN, semisalnya Pegawai Negeri Sipil seakan-akan diharuskan menentukan sikap mendukung salah satu Paslon Bupati, baik Paslon baru maupun Paslon Petahana. Kenyataan ini yang sering terlihat ialah di kubu Paslon Petahana, dimana para PNS minimal mendapatkan 10 suara jika ingin berada di posisi aman. Sebaliknya jika seorang PNS, Petugas Daerah lainnya kedapatan membelot atau tidak mengikuti perintah maka yang terjadi adalah Nonjob jabatan, turun jabatan atau dipindah tugaskan di Kecamatan atau Desa-desa terpencil.
Kenyataan ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya salah. Akan tetapi dapat diasumsikan berpotensi buruk, sebab biasanya menghasilkan permusuhan berkepanjangan yang berdampak pada efisiensi kinerja birokrat di suatu daerah tingkat II. Terlebih polarisasi seperti ini juga menghasilkan kesenjangan pada lingkaran sesama pegawai negeri sipil atau petugas daerah lainnya, dan berpotensi hilangnya kemesraan di tengah masyarakat.
Dan biasanya dalam melanggengkan kekuasaan setelah seorang kepala daerah/Kota (Bupati-Walikota), setelah mengambil Sumpah Jabatan "Pelantikan". Maka yang selalu dilakukan pertama kali adalah pemberantasan lawan politik dijajaran birokrat "PNS" dan digantikan dengan orang lain yang kemarin sejalan dengan Kepala Daerah terpilih.
Di daerah-daerah tingkat II, sangatlah terlihat dalam realita sosial politik, dimana ASN, semisalnya Pegawai Negeri Sipil seakan-akan diharuskan menentukan sikap mendukung salah satu Paslon Bupati, baik Paslon baru maupun Paslon Petahana. Kenyataan ini yang sering terlihat ialah di kubu Paslon Petahana, dimana para PNS minimal mendapatkan 10 suara jika ingin berada di posisi aman. Sebaliknya jika seorang PNS, Petugas Daerah lainnya kedapatan membelot atau tidak mengikuti perintah maka yang terjadi adalah Nonjob jabatan, turun jabatan atau dipindah tugaskan di Kecamatan atau Desa-desa terpencil.
Kenyataan ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya salah. Akan tetapi dapat diasumsikan berpotensi buruk, sebab biasanya menghasilkan permusuhan berkepanjangan yang berdampak pada efisiensi kinerja birokrat di suatu daerah tingkat II. Terlebih polarisasi seperti ini juga menghasilkan kesenjangan pada lingkaran sesama pegawai negeri sipil atau petugas daerah lainnya, dan berpotensi hilangnya kemesraan di tengah masyarakat.
Dan biasanya dalam melanggengkan kekuasaan setelah seorang kepala daerah/Kota (Bupati-Walikota), setelah mengambil Sumpah Jabatan "Pelantikan". Maka yang selalu dilakukan pertama kali adalah pemberantasan lawan politik dijajaran birokrat "PNS" dan digantikan dengan orang lain yang kemarin sejalan dengan Kepala Daerah terpilih.
Kegiatan seperti ini tidak perduli apakah yang digantikan tersebut kinerja baik atau buruk, berkompetensi tinggi atau tidak pada jabatan yang diembannya. Cara seperti mutasi dan pemberhentian, seperti ini bisa dilakukan dalam hitungan hari bahkan hitungan jam. sebuah kegiatan yang sering disebut sebagai lingkaran setan di dalam dunia politik.