John Stuart Mill dan Etika Utilitarianismenya
John Stuart Mill adalah seorang Filsuf empiris dan seorang reformator dari Utilitaranisme Sosial, yang lahir pada 20 Mei 1806 di London Inggris dan Meninggal pada 8 Mei 1873, di Avignon, Prancis pada usia 66 tahun.
Sejak masih kecil, Mill mempelajari bahasa Yunani dan bahasa latin, kemudian di usianya yang ke 20 tahun, ia pindah ke Prancis untuk mempelajari kimia dan matematika. Mill juga mempelajari ilmu psikologi yang merupakan inti dari Filsafatnya.
Menurutnya, Psikologi merupakan suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. pemikiran Mill ini berbeda dengan pandangan yang dibangun oleh Aguste Comte, yang memandang tugas Psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem inderawi manusia dan hubungan- hubungannya. Sedangkan Mill berpendapat bahwa satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi menjadi jalan kepada pengalaman.
Di lain sisi, Mill sebagai pendukung Utilitaranisme, sebuah teori etika yang dikembangkan oleh filsuf Jeremy Bentham. Maka dalam dunia etika, Mill melihat hubungan timbal balik antara manusia secara pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip Utilitaranisme. Dengan begitu, semua tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi dirinya sendiri secara psikologis. Bukan untuk orang lain, apalagi pada nilai-nilai.
Utilitaranisme yang didukung oleh Mill merupakan perbaikan dari pandangan yang dikemukakan oleh ayahnya dan Jeremy Bentham. Mill mengatakan bahwa panduan dasar bagi tindakan moral adalah maksimalisasi kesenangan dan minimalisasi kesakitan. Mill adalah seorang yang merumuskan keadaan diatas sebagai (Prinsip Kebahagiaan Terbesar), yang menyatakan bahwa tindakan adalah benar jika condong untuk menambah kebahagiaan atau keliru, salah jika condong untuk menimbulkan penderitaan, kesakitan.
Selanjutnya, Mill mengungkapkan tolak ukur moralitas kebahagiaan kaum Utilitaranisme bukan kebahagiaan pelaku saja. Melainkan demi kebahagiaan semua. Untuk menjawab pertanyaan seperti Apa yang dapat menggerakkan saya untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain? Maka Mill menjawabnya dengan menggunakan teori psikologi tentang Asosiasi, dimana teori ini mengatakan dengan membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaannya sendiri dengan kebahagiaan seluruh masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan sendiri juga akan dapat mendorong untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat.
Dalam semua upayanya, Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan hanya merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sebab satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar.
Sejak masih kecil, Mill mempelajari bahasa Yunani dan bahasa latin, kemudian di usianya yang ke 20 tahun, ia pindah ke Prancis untuk mempelajari kimia dan matematika. Mill juga mempelajari ilmu psikologi yang merupakan inti dari Filsafatnya.
Menurutnya, Psikologi merupakan suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. pemikiran Mill ini berbeda dengan pandangan yang dibangun oleh Aguste Comte, yang memandang tugas Psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem inderawi manusia dan hubungan- hubungannya. Sedangkan Mill berpendapat bahwa satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi menjadi jalan kepada pengalaman.
Di lain sisi, Mill sebagai pendukung Utilitaranisme, sebuah teori etika yang dikembangkan oleh filsuf Jeremy Bentham. Maka dalam dunia etika, Mill melihat hubungan timbal balik antara manusia secara pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip Utilitaranisme. Dengan begitu, semua tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi dirinya sendiri secara psikologis. Bukan untuk orang lain, apalagi pada nilai-nilai.
Utilitaranisme yang didukung oleh Mill merupakan perbaikan dari pandangan yang dikemukakan oleh ayahnya dan Jeremy Bentham. Mill mengatakan bahwa panduan dasar bagi tindakan moral adalah maksimalisasi kesenangan dan minimalisasi kesakitan. Mill adalah seorang yang merumuskan keadaan diatas sebagai (Prinsip Kebahagiaan Terbesar), yang menyatakan bahwa tindakan adalah benar jika condong untuk menambah kebahagiaan atau keliru, salah jika condong untuk menimbulkan penderitaan, kesakitan.
Selanjutnya, Mill mengungkapkan tolak ukur moralitas kebahagiaan kaum Utilitaranisme bukan kebahagiaan pelaku saja. Melainkan demi kebahagiaan semua. Untuk menjawab pertanyaan seperti Apa yang dapat menggerakkan saya untuk berkorban demi kebahagiaan orang lain? Maka Mill menjawabnya dengan menggunakan teori psikologi tentang Asosiasi, dimana teori ini mengatakan dengan membiasakan diri untuk mengaitkan kebahagiaannya sendiri dengan kebahagiaan seluruh masyarakat, maka motivasi untuk mengusahakan kebahagiaan sendiri juga akan dapat mendorong untuk mengusahakan kebahagiaan masyarakat.
Dalam semua upayanya, Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan hanya merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sebab satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar.
Individu yang bijak menuntut lebih dari sekedar kesenangan lahiriah untuk membuatnya bahagia. Mill menulis suatu ungkapan bahwa " lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas daripada orang tolol yang puas".