Jean Baudrillard dan Bukunya Simularca and Simulation
Jean Baudrillard adalah seorang Pakar Teori Kebudayaan, Komentator Politik, Fotografer dan Sosiolog asal Prancis. Jean Baudrillard merupakan Filsuf Postmodernisme yang memusatkan perhatiannya kepada persoalan mengenai kultur, yang dalam pandangannya mengalami perubahan besar-besaran dan merupakan bencana besar. Karena baginya Revolusi kultural mengakibatkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin aktif/berontak seperti kebanyakan perkiraan pemikir Marxisme.
Dengan demikian, massa dilihat sebagai lubang hitam yang akan menyerap semua makna informasi, pesan, komunikasi dan sebagainya menjadi tidak bermakna. Sebab massa menempuh jalannya sendiri dan tidak mengindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka dalam kekacauan, kelebaman dan keapatisan yang dipahami sebagai istilah kejenuhan massa.
Jean Baudrillard lewat karya-karyanya juga memiliki daya sumbangsih terhadap teori sosial untuk postmodernisme, yang menurutnya objek konsumsi merupakan tatanan produksi, sehingga baginya masyarakat hidup dalam aktifitas yang digambarkan dengan ketidakbenaran, sebab masyarakat hidup dengan kondisi kehilangan identitas dan jati dirinya, dinamika seperti ini banyak terdapat dalam masyarakat kontemporer yang disebut sebagai kehidupan yang Hiperealitas.
Salah satu karyanya yang terkenal dan memuat pemikiran tajamnya terkait realitas sosial adalah Simularca and Simulation terbitan 1981. Simularca sendiri adalah terminologi dari Jean Baudrillard, ketika menggambarkan realitas semu. Dalam bukunya tersebut Jean Baudrillard mengatakan manusia abad kontemporer hidup dalam Simularca (gambar atau citra) atau dengan kata lain manusia kontemporer hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata diluar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat di tiru.
Bagi Jean Baudrillard, Kebudayaan industri demikian mengaburkan dan menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, atau antara informasi dan entertainmen bahkan antara entertainment dan kepentingan politik. Masyarakat tidak sadar akan adanya pengaruh citra, hal ini membuat masyarakat kerap kali mencoba hal baru yang ditawarkan oleh keadilan Simularca seperti dalam hal membeli, bekerja dan lainnya, termasuk dalam memilih presiden, gubernur, walikota, bupati maupun kepala desa/lurah.
Di saat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu masif saat kini, terlihat bahwa realitas telah punah dan kebenaran sering kali menguap secepat kilat, realitas tidak hanya dipresentasikan, diceritakan dan disebarluaskan akan tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dengan citra yang benar sehingga realitas bercampur baur menandakan telah masuk episode penuh aktor bertopeng.
Contoh dampak dari simulacra yang bisa diangkat dan dilihat adalah tampilan masyarakat Indonesia yang bersifat konsumtif bukan hanya pada produk makanan, namun telah masuk pada semua yang muncul di ambil dan praktekkan tanpa mengetahui subtansi atau keuntungan dari yang dikonsumsi itu, misalnya dahulu masyarakat Indonesia begitu mengagungkan serial-serial dari India hingga kini telah pada serial Korea yang telah merasuk pada semua sendi kehidupan, baik style, music hingga pola hidupnya.
Contoh lain yang bagi saya agak-agaknya seksi untuk dibahas adalah kehadiran Jokowi yang sebagai pemimpin produk simulacra, dimana diawalnya Jokowi di iramakan sebagai pemimpin yang memutuskan mata rantai pemimpin feodal dan darah biru, dengan kata lain kehadiran Jokowi membuat keringnya dominasi dan koneksi dari keluarga cendana dan cikeas. Gairah demokrasi yang dibangun adalah demokrasi yang bersatu dengan niatan memutuskan mata rantai pemimpin dari kalangan diatas.
Polesan itulah yang membuat Jokowi di agungkan menghampiri seorang yang suci dengan misi sebagai jawaban dari problematika vertikal, namun respon ini seiring berjalannya waktu berubah secara berlebih-lebihan bahkan terkesan kehilangan nalar kritisnya.
Dengan demikian, massa dilihat sebagai lubang hitam yang akan menyerap semua makna informasi, pesan, komunikasi dan sebagainya menjadi tidak bermakna. Sebab massa menempuh jalannya sendiri dan tidak mengindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka dalam kekacauan, kelebaman dan keapatisan yang dipahami sebagai istilah kejenuhan massa.
Jean Baudrillard lewat karya-karyanya juga memiliki daya sumbangsih terhadap teori sosial untuk postmodernisme, yang menurutnya objek konsumsi merupakan tatanan produksi, sehingga baginya masyarakat hidup dalam aktifitas yang digambarkan dengan ketidakbenaran, sebab masyarakat hidup dengan kondisi kehilangan identitas dan jati dirinya, dinamika seperti ini banyak terdapat dalam masyarakat kontemporer yang disebut sebagai kehidupan yang Hiperealitas.
Salah satu karyanya yang terkenal dan memuat pemikiran tajamnya terkait realitas sosial adalah Simularca and Simulation terbitan 1981. Simularca sendiri adalah terminologi dari Jean Baudrillard, ketika menggambarkan realitas semu. Dalam bukunya tersebut Jean Baudrillard mengatakan manusia abad kontemporer hidup dalam Simularca (gambar atau citra) atau dengan kata lain manusia kontemporer hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata diluar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat di tiru.
Bagi Jean Baudrillard, Kebudayaan industri demikian mengaburkan dan menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, atau antara informasi dan entertainmen bahkan antara entertainment dan kepentingan politik. Masyarakat tidak sadar akan adanya pengaruh citra, hal ini membuat masyarakat kerap kali mencoba hal baru yang ditawarkan oleh keadilan Simularca seperti dalam hal membeli, bekerja dan lainnya, termasuk dalam memilih presiden, gubernur, walikota, bupati maupun kepala desa/lurah.
Di saat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu masif saat kini, terlihat bahwa realitas telah punah dan kebenaran sering kali menguap secepat kilat, realitas tidak hanya dipresentasikan, diceritakan dan disebarluaskan akan tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dengan citra yang benar sehingga realitas bercampur baur menandakan telah masuk episode penuh aktor bertopeng.
Contoh dampak dari simulacra yang bisa diangkat dan dilihat adalah tampilan masyarakat Indonesia yang bersifat konsumtif bukan hanya pada produk makanan, namun telah masuk pada semua yang muncul di ambil dan praktekkan tanpa mengetahui subtansi atau keuntungan dari yang dikonsumsi itu, misalnya dahulu masyarakat Indonesia begitu mengagungkan serial-serial dari India hingga kini telah pada serial Korea yang telah merasuk pada semua sendi kehidupan, baik style, music hingga pola hidupnya.
Contoh lain yang bagi saya agak-agaknya seksi untuk dibahas adalah kehadiran Jokowi yang sebagai pemimpin produk simulacra, dimana diawalnya Jokowi di iramakan sebagai pemimpin yang memutuskan mata rantai pemimpin feodal dan darah biru, dengan kata lain kehadiran Jokowi membuat keringnya dominasi dan koneksi dari keluarga cendana dan cikeas. Gairah demokrasi yang dibangun adalah demokrasi yang bersatu dengan niatan memutuskan mata rantai pemimpin dari kalangan diatas.
Polesan itulah yang membuat Jokowi di agungkan menghampiri seorang yang suci dengan misi sebagai jawaban dari problematika vertikal, namun respon ini seiring berjalannya waktu berubah secara berlebih-lebihan bahkan terkesan kehilangan nalar kritisnya.
Posisi Jokowi yang sebagai "orang suci" membuat Jokowi diposisikan bukanlah yang salah melainkan orang disampingnya lah yang salah. Akibat dari cara pandang dan kontruksi pemikiran yang ditengah masyarakat itulah yang menciptakan ruang terbuka bagi Jokowi melakukan tindakan apapun dianggap benar, termasuk persoalan perundang-undang yang telah dua kali (RUU KPK, RUU Omnibuslaw) menjadi polemik hingga memakan korban jiwa, akan tetapi tetap berlangsung. Ini yang disebut hukum dapat dikaburkan oleh kekuasaan dalam masyarakat semu.
Jumat malam adalah malam yang membuat saya tergugat untuk menuliskan pemikiran dari Jean Baudrillard yang membicarakan realitas semu dan settingan realitas sosial dengan teknologi. Ketika dimalam itu saya berkeinginan untuk silaturahmi ke salah satu rumah senior semasa kuliah yang berdomisili di Kabupaten Kepulauan Sula.
Jumat malam adalah malam yang membuat saya tergugat untuk menuliskan pemikiran dari Jean Baudrillard yang membicarakan realitas semu dan settingan realitas sosial dengan teknologi. Ketika dimalam itu saya berkeinginan untuk silaturahmi ke salah satu rumah senior semasa kuliah yang berdomisili di Kabupaten Kepulauan Sula.
Kebetulan malam itu ada diskusi tentang kondisi kedaerahan Sula yang dianggap telah terjadi kesemuan dalam berbagai aspek. Tentu ini subjektif namun disayangkan bila kenyataan ini betul adanya karena bisa berdampak negatif secara luas. Semoga ini tidak benar. Terimakasih