Keberadaan LGBT dan Kegagalan Pemerintah

Istilah LGBT merupakan sebuah akronim Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Istilah ini diperkirakan dipakai Pertama kali sebelum Revolusi Seksual pada tahun 1960-an tetapi tidak diterima secara luas. Istilah ini baru digunakan secara tegas pada kisaran tahun 1988 di Amerika Serikat dan ditahun1990-an istilah ini mulai menjangkau secara keseluruhan untuk menggantikan sebutan Komunitas Gay.

Akronim tersebut diangkat ke permukaan dengan tujuan untuk menekan keanekaragaman budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Namun tidak dari semua pihak yang memiliki kecenderungan seksualitas diantara akronim tersebut setuju dengan istilah LGBT, dengan pendapat pergerakan transgender dan transeksual tidak begitu sama dengan gay, lesbian dan biseksual.

Di Indonesia sendiri, diskusi tentang keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), masih sering ditemukan karena bukan lagi hal yang dianggap tabu, hampir sebagian besar masyarakat telah mengetahui keberadaannya, dan seringkali mendiskusikannya dengan pendekatan empirisme, rasionalisme maupun instuisme. Tak jarang terkait LGBT menimbulkan perdebatan kontroversial karena dianggap sebagai salah satu isu yang sensitif di Indonesia, sebab bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

Pada umumnya, penilaian masyarakat Indonesia mengenai isu melegalkan LGBT masih beragam, tergantung latar belakang Agama, Budaya, Keluarga dan Pergaulan sebaya. faktor inilah yang menjadi tolok ukur tingkat penolakan dan penerimaan LGBT secara sosial masyarakat. Dan dari faktor diatas ditemukan sebagian kecil masyarakat lebih memilih menerima dengan alasan kemanusiaan dan adapun sebagian besar yang menolak dengan alasan keagamaan atau budaya. Serta ada yang memilih bersikap netral dengan alasan pergaulan, keluarga.

Dari survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga, menemukan bahwa pada umumnya kelompok LGBT di Indonesia masih mengalami banyak diskriminasi dalam pendidikan, tempat tinggal, kesempatan kerja terutama kerjaan disektor formal, kesehatan dan kesejahteraan. Sebab stigmatisasi bahwa perilaku LGBT mendatang penyakit HIV AIDS, terlebih bertentangan dengan norma sosial, agama dan hukum negara.

Argumentasi yang terbangun diatas bertolak belakang dengan keinginan dari kelompok LGBT itu sendiri, karena pada dasarnya kelompok LGBT umumnya mengharapkan perlakuan yang lebih seimbang dan adil dari pemerintah (negara), dimana keinginan mereka terkait orientasi seksual dan perilaku seksual tidak menjadi hambatan bagi mereka dalam bermasyarakat, berkarya, berprestasi dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Nah jika dilihat dengan seksama dari kedua uraian diatas maka ditemukan bahwa pada kenyataannya keduanya sama-sama penting. Di satu sisi mencari hak-haknya sebagai warganegara, di sisi lain mempertimbangkan nilai-nilai kehidupan yang berlandaskan norma sosial, kebudayaan dan agama.

Pertanyaan menarik dari hal ini adalah dimana posisi pemerintah (negara) dalam menyikapi urgensi ini?. Tentu kita telah ketahui bahwa pemerintah akan menolak upaya melegalkan keberadaan kelompok LGBT, karena suatu pemerintahan dengan menjalankan negara berlandaskan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Semua itu jelas terlihat di layar kaca dimana perwakilan pemerintah hingga pemuka agama mengurai persoalan ini. Namun sayangnya hanya sebatas uraian yang menguap di udara. artinya pemerintah gagal melahirkan solusi dan gerakan kongkrit.

Kenapa saya beranggapan demikian, karena sepanjang perjalanan pertikaian pemikiran ini. Pemerintah telah beberapakali mengeluarkan pendapat tentang asal muasal dan penyebab adanya perilaku seksual yang berbeda dengan perilaku heteroseksual ini. Misalnya, mengutip pernyataan Mantan Menteri Kesehatan RI. Nila Djuwita. F. Moeloek yang menegaskan bahwa "Perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender atau biasa disingkat LGBT dari sisi kesehatan tidak dibenarkan dan bukan gangguan kejiwaan melainkan masalah kejiwaan".

Dan disisi agama, LGBT dianggap sebagai "Perilaku fahisyah yang berarti perbuatan keji yang tergolong dosa besar dan sebagai perilaku Khabits yang tergolong perilaku hina".

Poin saya adalah, masih belum adanya solusi kongkrit dari pemerintah (negara) padahal kita semua ketahui pemerintah wajib memperioritaskan dinamika ini karena tidak bisa ditunda karena bisa berdampak lebih luas, baik kelompok LGBT maupun masyarakat secara luas.

Di satu sisi sudah jelas masyarakat melihat LGBT sebagai sesuatu hal yang menyimpang karena bertentangan dengan norma-norma diatas dan juga terkait dengan kesehatan karena perilaku seksual LGBT yang dianggap beresiko menghasilkan penyakit. Disisi lain kelompok LGBT mengharapkan kejelasan statusnya.

Padahal solusi kongkrit yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menginisiasi gerakan langsung untuk menangani persoalan LGBT seperti. Melakukan riset dan penelitian ilmiah terkait genetik untuk menemukan formulasi, Membentuk lembaga khusus pengobatan (rahabilitasi), serta Mengatur hak dan kewajiban kelompok LGBT dengan membentuk regulasinya. Jikalau langkah ini telah dilakukan dan tidak menemukan hasil positif selama jangka waktu tertentu. 

LGBT

Nah itu baru pemerintah bisa mendiskusikan perihal menerima atau menolak. dengan kata lain dalam setiap persoalan kenegaraan maka posisi dan fungsi pemerintah adalah menemukan solusi dan menjalankan sebaik-baiknya solusi tersebut. Terimakasih

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel