Kekaguman Soekarno Kepada Marxisme
Siapakah yang tidak mengenal Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, seorang yang memiliki nama besar sebagai pemikir bangsa. Dan dari pemikirannya membangun kerjasama ekonomi dan kebudayaan dengan mengadakan Konferensi Asia-afrika 1955. Berhasil mempengaruhi beberapa negara-negara untuk bersama melawan kolonialisme, neokolonialisme di atas dunia.
Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa Soekarno pernah mengakui bahwa yang mempengaruhi pemikirannya salah satunya ialah seorang Karl Marx "Marxisme". Semua itu dapat kita lihat dari tulisan, artikel dan atau istilah-istilah yang muncul ketika Ir. Soekarno tampil berpidato di panggung politik.
Soekarno mengenal seorang Marxisme pada usia 19 tahun saat masih duduk di bangku sekolah Algemeene Middelbare School HBS kalah itu. Ketertarikan Soekarno muda tentang Marxisme pernah diutarakan dalam buku autobiografinya berjudul : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966) " pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Kapital ".
Setelah selesai bersekolah di HBS tahun 1920, soekarno muda pindah ke Bandung untuk berkuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekolah tinggi teknik (ITB sekarang). Tepat tanggal 25 Mei 1926 Soekarno berhasil meraih gelar Insinyurnya. Di tahun yang sama Soekarno mulai debut politiknya dengan membentuk Algemeene studie club, sebuah club diskusi yang nantinya berubah menjadi gerakan radikal. Tiga bulan sebelum itu Soekarno menulis sebuah artikel yang secara langsung menunjukkan bahwa dia seorang Marxisme yang diterbitkan oleh Perkumpulan Indonesia muda dengan judul "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme 1926". Sebuah pemikiran yang berupaya mengawinkan tiga aspek penting dan menekankan pentingnya satu front bersama yaitu Nasionalisme.
Dalam pidato-pidatonya di panggung politiknya Soekarno juga menunjukkan kekaguman pemikirannya Marxisme dengan melahirkan satu istilah yang dikenal dengan Marhaenisme.
Marhaenisme terdiri dari kata marhaen dan isme. Kata "Marhaen" merupakan nama seorang petani kecil asal daerah priangan Jawa Barat. Marhaen yang saat itu berbincang langsung dengan Ir. Soekarno di tengah sawah, dilihat oleh Soekarno sebagai perwujudan orang miskin Indonesia yang terjajah oleh Raja-Raja dahulu dengan sistem feodalisme dan ditambah kesengsaraannya dengan datangnya sistem kolonialisme yang dibawah oleh bangsa Eropa, dari pertemuan sederhana itulah yang menginspirasi Ir. Soekarno untuk menjadikan nama itu sebagai simbol rakyat melarat Indonesia. Sedangkan "isme" yang berarti paham atau selebihnya paham politik. Beredar juga kabar bahwa kata Marhaen adalah akronim dari nama ketiga tokoh yang dikagumi oleh Ir. Soekarno yaitu Marx, Hegel dan Engels. Namun karena tidak ada tanggapan langsung dari Ir. Soekarno terkait perihal demikian, maka semua kabar ini hanya berhenti pada tataran isu.
Dalam buku Maulwi Saelan dengan judul "Penjaga Terakhir Soekarno"
"Soekarno menuturkan, pemakaian nama Marhaenisme itu melalui penelitian yang mendalam dan lama. Kemiskinan rakyat Indonesia terjadi akibat eksploitasi dari banyaknya sistem kekuatan pada rakyat Indonesia.
Soekarno juga menuturkan pada saat masa itu, Soekarno membutuhkan pisau analisis yang tajam, maka Soekarno mempelajari Marxisme dan menggunakan metodenya dan menganalisis keadaan. Dimana menurut Soekarno Marxisme di Eropa melandaskan basis perjuangannya pada kaum proletar atau yang di sebut kaum buruh yang tidak memiliki modal.
Faktor penderitaan masyarakat inilah yang dilihat Ir. Soekarno sebagai hal yang mendasarinya membuat atau merumuskan suatu asas marhaenisme untuk menyelamatkan kaum marhaen dari ketidakadilan dari sistem feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Dan untuk merealisasikan tujuannya diatas, Ir. Soekarno kemudian membentuk sebuah Partai Nasional Indonesia (PNI) sekaligus menjadikan marhaenisme sebagai asas PNI.
Dari semua penjelasan di atas telah jelas memperlihatkan bahwa seorang Ir. Soekarno memakai pisau analisis dan kacamata Marxisme dalam menjelaskan dan memaparkan terkait perlawanan kepada imperialisme dan kolonialisme barat di Indonesia, dengan kata lain Soekarno di pengaruhi oleh Marxisme.
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul jika kita mencoba menguraikan kaitan antara Soekarno dan Marxisme.
Apakah Soekarno seorang komunisme? Soekarno dalam bukunya menegaskan bahwa "dia bukan seorang komunis, dia seorang nasionalis, seorang revolusioner".
Soekarno juga menambahkan ketegasannya dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dengan berkata "orang komunis menginginkan satu bangsa di dunia, mereka justru menandakan nasionalisme dan menghadirkan internasionalisme, Soekarno seorang nasionalis revolusioner, seorang ultranasionalis, seorang supranasionalis jelas bukan seorang komunis".
Pernyataan dari Soekarno diatas didukung oleh seorang wartawan senior asal Sri Langka. Tarzie Vittachi yang mengungkapkan demikian setelah membaca terkait Soekarno. "Jelas Soekarno tidak lebih komunis dari misalnya Jawaharal Nehru, perdana menteri India, dia juga tidak kurang derajat keislamannya dengan Jenderal Ayub Khan, Presiden Republik Islam Pakistan, dan terasa jauh lebih Nasionalis dibandingkan tokoh sezamannya.
Pertanyaan selanjutnya. Kalau bukan seorang komunis, kenapa Soekarno begitu dekat dengan Negara berpaham Komunis ?
Pertanyaan ini akan muncul karena soekarno menjalin hubungan kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, militer dan lainnya. Soekarno sendiri pernah menjawab pertanyaan dengan berkata "mereka negara yang berpaham komunis menerima dia sebagai partner, teman seperjuangan bukan sebagai hamba, bukan sebagai rendahan, seperti paham kapitalis memperlakukannya dengan perlakuan begitu"
Saya akan mengakhiri diskusi kita malam ini dengan menunjukkan sebuah penggalan kekaguman Soekarno atas Marxisme yang diutarakan lewat artikelnya yang berjudul "50 tahun wafatnya Karl Marx" yang dimuat dalam koran fikiran rakyat tahun 1933. Sebagai berikut " Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada henti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, bagaimana mereka itu akan mendapatkan kemenangan: tiada kesal dan capeknya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu.
Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa Soekarno pernah mengakui bahwa yang mempengaruhi pemikirannya salah satunya ialah seorang Karl Marx "Marxisme". Semua itu dapat kita lihat dari tulisan, artikel dan atau istilah-istilah yang muncul ketika Ir. Soekarno tampil berpidato di panggung politik.
Soekarno mengenal seorang Marxisme pada usia 19 tahun saat masih duduk di bangku sekolah Algemeene Middelbare School HBS kalah itu. Ketertarikan Soekarno muda tentang Marxisme pernah diutarakan dalam buku autobiografinya berjudul : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966) " pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Kapital ".
Setelah selesai bersekolah di HBS tahun 1920, soekarno muda pindah ke Bandung untuk berkuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekolah tinggi teknik (ITB sekarang). Tepat tanggal 25 Mei 1926 Soekarno berhasil meraih gelar Insinyurnya. Di tahun yang sama Soekarno mulai debut politiknya dengan membentuk Algemeene studie club, sebuah club diskusi yang nantinya berubah menjadi gerakan radikal. Tiga bulan sebelum itu Soekarno menulis sebuah artikel yang secara langsung menunjukkan bahwa dia seorang Marxisme yang diterbitkan oleh Perkumpulan Indonesia muda dengan judul "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme 1926". Sebuah pemikiran yang berupaya mengawinkan tiga aspek penting dan menekankan pentingnya satu front bersama yaitu Nasionalisme.
Dalam pidato-pidatonya di panggung politiknya Soekarno juga menunjukkan kekaguman pemikirannya Marxisme dengan melahirkan satu istilah yang dikenal dengan Marhaenisme.
Marhaenisme terdiri dari kata marhaen dan isme. Kata "Marhaen" merupakan nama seorang petani kecil asal daerah priangan Jawa Barat. Marhaen yang saat itu berbincang langsung dengan Ir. Soekarno di tengah sawah, dilihat oleh Soekarno sebagai perwujudan orang miskin Indonesia yang terjajah oleh Raja-Raja dahulu dengan sistem feodalisme dan ditambah kesengsaraannya dengan datangnya sistem kolonialisme yang dibawah oleh bangsa Eropa, dari pertemuan sederhana itulah yang menginspirasi Ir. Soekarno untuk menjadikan nama itu sebagai simbol rakyat melarat Indonesia. Sedangkan "isme" yang berarti paham atau selebihnya paham politik. Beredar juga kabar bahwa kata Marhaen adalah akronim dari nama ketiga tokoh yang dikagumi oleh Ir. Soekarno yaitu Marx, Hegel dan Engels. Namun karena tidak ada tanggapan langsung dari Ir. Soekarno terkait perihal demikian, maka semua kabar ini hanya berhenti pada tataran isu.
Dalam buku Maulwi Saelan dengan judul "Penjaga Terakhir Soekarno"
"Soekarno menuturkan, pemakaian nama Marhaenisme itu melalui penelitian yang mendalam dan lama. Kemiskinan rakyat Indonesia terjadi akibat eksploitasi dari banyaknya sistem kekuatan pada rakyat Indonesia.
Soekarno juga menuturkan pada saat masa itu, Soekarno membutuhkan pisau analisis yang tajam, maka Soekarno mempelajari Marxisme dan menggunakan metodenya dan menganalisis keadaan. Dimana menurut Soekarno Marxisme di Eropa melandaskan basis perjuangannya pada kaum proletar atau yang di sebut kaum buruh yang tidak memiliki modal.
Faktor penderitaan masyarakat inilah yang dilihat Ir. Soekarno sebagai hal yang mendasarinya membuat atau merumuskan suatu asas marhaenisme untuk menyelamatkan kaum marhaen dari ketidakadilan dari sistem feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Dan untuk merealisasikan tujuannya diatas, Ir. Soekarno kemudian membentuk sebuah Partai Nasional Indonesia (PNI) sekaligus menjadikan marhaenisme sebagai asas PNI.
Dari semua penjelasan di atas telah jelas memperlihatkan bahwa seorang Ir. Soekarno memakai pisau analisis dan kacamata Marxisme dalam menjelaskan dan memaparkan terkait perlawanan kepada imperialisme dan kolonialisme barat di Indonesia, dengan kata lain Soekarno di pengaruhi oleh Marxisme.
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul jika kita mencoba menguraikan kaitan antara Soekarno dan Marxisme.
Apakah Soekarno seorang komunisme? Soekarno dalam bukunya menegaskan bahwa "dia bukan seorang komunis, dia seorang nasionalis, seorang revolusioner".
Soekarno juga menambahkan ketegasannya dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dengan berkata "orang komunis menginginkan satu bangsa di dunia, mereka justru menandakan nasionalisme dan menghadirkan internasionalisme, Soekarno seorang nasionalis revolusioner, seorang ultranasionalis, seorang supranasionalis jelas bukan seorang komunis".
Pernyataan dari Soekarno diatas didukung oleh seorang wartawan senior asal Sri Langka. Tarzie Vittachi yang mengungkapkan demikian setelah membaca terkait Soekarno. "Jelas Soekarno tidak lebih komunis dari misalnya Jawaharal Nehru, perdana menteri India, dia juga tidak kurang derajat keislamannya dengan Jenderal Ayub Khan, Presiden Republik Islam Pakistan, dan terasa jauh lebih Nasionalis dibandingkan tokoh sezamannya.
Pertanyaan selanjutnya. Kalau bukan seorang komunis, kenapa Soekarno begitu dekat dengan Negara berpaham Komunis ?
Pertanyaan ini akan muncul karena soekarno menjalin hubungan kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, militer dan lainnya. Soekarno sendiri pernah menjawab pertanyaan dengan berkata "mereka negara yang berpaham komunis menerima dia sebagai partner, teman seperjuangan bukan sebagai hamba, bukan sebagai rendahan, seperti paham kapitalis memperlakukannya dengan perlakuan begitu"
Saya akan mengakhiri diskusi kita malam ini dengan menunjukkan sebuah penggalan kekaguman Soekarno atas Marxisme yang diutarakan lewat artikelnya yang berjudul "50 tahun wafatnya Karl Marx" yang dimuat dalam koran fikiran rakyat tahun 1933. Sebagai berikut " Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada henti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, bagaimana mereka itu akan mendapatkan kemenangan: tiada kesal dan capeknya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu.
Selagi duduk di atas kursinya, dimuka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883.. melepaskan nafasnya yang penghabisan". Demikianlah, terima kasih diatas kisah ini.
Awin Buton