Pandangan Kritis Terhadap Dunia Modern Kontemporer
Proses belajar adalah proses memahami sesuatu sampai ke akar-akarnya, dan puncak dari pemahaman ialah memahami esensi kehidupan yang selalu berujung pada ke maha benar Tuhan.
Ilmu yang kita miliki sejak awal semestinya diniatkan sebagai media utama agar berguna bagi pribadi dan orang banyak, dengan begitu kita dapat memenuhi energi diri yang diberikan Tuhan untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, ilmu yang dimiliki dijualkan sebagai jaminan untuk melegitimasi kebenaran dan membuat penyelewengan demi hasrat dan nafsu berkuasa dengan jabatan yang tinggi.
Kaum-kaum yang mementingkan dirinya itu, berawal dari kebodohan menjadi berilmu semata-mata untuk melakukan korupsi, membolak balik kebenaran demi kepentingan, membangun pabrik yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan menghalalkan segala cara atas nama keuntungan pribadi.
Banyak dari orang-orang berilmu yang menjadi pembunuh berantai dengan nafsu serakah, mereka yang katanya berpendidikan namun tergolong dalam lingkaran yang merusak sesama dan bahkan menjadi penjilat pemimpin yang zalim dan selalu tunduk membenarkan semua kezaliman, sekedar untuk dilirik dan mendapatkan posisi dab jabatan strategis dalam pemerintah. Maka dengan ini mungkin ada benarnya berilmu atau berpendidikan tidaklah harus yang bertitel sepanjang-panjangnya, akan tetapi mereka yang berilmu ialah mereka yang memahami nilai dan tanggung jawab moril ketika memiliki ilmu.
Mereka-mereka itu, tentu menyenangi dirinya dengan penuh harap agar sang pemimpin zalim memperhatikannya. Jadi, tidak peduli seorang yang katanya bertitel, berilmu itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi mereka, mereka tetap salah telah berani menggadaikan ilmunya demi kepentingannya.
Secara realitas jelas mempertontonkan begitu banyaknya para kaum bertitel yang katanya berilmu itu, menceburi dirinya dalam kobangan kenistaan sehingga tertangkap, terduga, terdakwa dan bahkan menjadi tersangka kasus korupsi, pencucian uang, suap transaksi jabatan dan masih banyak lagi.
Sementara itu, ketika seorang yang menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin atau mementingkan nafsu duniawi semata, tapi melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka dipastikan tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai jalan kebenaran karena begitulah tabiatnya, dan mereka itu tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaiknya, seperti ikan yang tidak dapat hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air.
Terlebih seseorang seperti ini memiliki perangkat akal yang bisa mengontrol, mengawasi dan mencegah dirinya jatuh ke dalam kubangan yang nista. Dan dalam waktu yang bersamaan, sebagian besar orang yang dalam lingkungannya akan tercerahkan serta mendapatkan bantuan-bantuan dari cahaya darinya, terlepas dari mereka menyadari atau tidak.
Terakhir ketika seorang ini mendatangi pemimpin zalim, maka kondisinya akan berbeda karena pemimpin itulah yang mendapatkan pertolongan-pertolongan dan manfaat karena solusi dan jalan keluar yang diberikan oleh seorang itu. Inilah sebuah kenyataan yang coba direnungkan oleh diri saya ketika membaca situasi yang ada dalam kalangan masyarakat sekitar.
Ilmu yang kita miliki sejak awal semestinya diniatkan sebagai media utama agar berguna bagi pribadi dan orang banyak, dengan begitu kita dapat memenuhi energi diri yang diberikan Tuhan untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, ilmu yang dimiliki dijualkan sebagai jaminan untuk melegitimasi kebenaran dan membuat penyelewengan demi hasrat dan nafsu berkuasa dengan jabatan yang tinggi.
Kaum-kaum yang mementingkan dirinya itu, berawal dari kebodohan menjadi berilmu semata-mata untuk melakukan korupsi, membolak balik kebenaran demi kepentingan, membangun pabrik yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan menghalalkan segala cara atas nama keuntungan pribadi.
Banyak dari orang-orang berilmu yang menjadi pembunuh berantai dengan nafsu serakah, mereka yang katanya berpendidikan namun tergolong dalam lingkaran yang merusak sesama dan bahkan menjadi penjilat pemimpin yang zalim dan selalu tunduk membenarkan semua kezaliman, sekedar untuk dilirik dan mendapatkan posisi dab jabatan strategis dalam pemerintah. Maka dengan ini mungkin ada benarnya berilmu atau berpendidikan tidaklah harus yang bertitel sepanjang-panjangnya, akan tetapi mereka yang berilmu ialah mereka yang memahami nilai dan tanggung jawab moril ketika memiliki ilmu.
Mereka-mereka itu, tentu menyenangi dirinya dengan penuh harap agar sang pemimpin zalim memperhatikannya. Jadi, tidak peduli seorang yang katanya bertitel, berilmu itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi mereka, mereka tetap salah telah berani menggadaikan ilmunya demi kepentingannya.
Secara realitas jelas mempertontonkan begitu banyaknya para kaum bertitel yang katanya berilmu itu, menceburi dirinya dalam kobangan kenistaan sehingga tertangkap, terduga, terdakwa dan bahkan menjadi tersangka kasus korupsi, pencucian uang, suap transaksi jabatan dan masih banyak lagi.
Sementara itu, ketika seorang yang menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin atau mementingkan nafsu duniawi semata, tapi melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka dipastikan tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai jalan kebenaran karena begitulah tabiatnya, dan mereka itu tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaiknya, seperti ikan yang tidak dapat hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air.
Terlebih seseorang seperti ini memiliki perangkat akal yang bisa mengontrol, mengawasi dan mencegah dirinya jatuh ke dalam kubangan yang nista. Dan dalam waktu yang bersamaan, sebagian besar orang yang dalam lingkungannya akan tercerahkan serta mendapatkan bantuan-bantuan dari cahaya darinya, terlepas dari mereka menyadari atau tidak.
Terakhir ketika seorang ini mendatangi pemimpin zalim, maka kondisinya akan berbeda karena pemimpin itulah yang mendapatkan pertolongan-pertolongan dan manfaat karena solusi dan jalan keluar yang diberikan oleh seorang itu. Inilah sebuah kenyataan yang coba direnungkan oleh diri saya ketika membaca situasi yang ada dalam kalangan masyarakat sekitar.
Mungkin ini terdengar menyombongkan diri namun sayangnya inilah sebuah kenyataan yang perlu diperhatikan. Semoga refleksi ini juga terpancarkan kepada sebagian dari teman-teman pembaca.