Metode Intuitif dari Pandangan Plotinus dan Henri Bergson
Metode intuitif adalah sebuah proses yang lebih mengedepankan pemakaian intuisi atau hati untuk menyelami segala persoalan kehidupan. Berkaitan dengan metode intuitif, maka kita perlu mengenal bahwa ternyata Plotinus dan Bergson adalah filsuf yang mengemukakan atau menganjurkan metode ini. Plotinus sendiri adalah seorang filsuf kelahiran
Plotinus juga dikenal sebagai seorang filsuf yang mengembangkan lebih lanjut konsep dan pokok pikiran seorang Plato, Sehingga dengan itu Plotinus disebut sebagai tokoh terkemuka sekaligus pendiri Neo Platonisme. Disisi lain, Plotinus bukan hanya mengadopsi pemikiran dari Plato, akan tetapi juga mengadopsi berbagai aliran filsafat, bahkan Plotinus juga masuk dalam aliran atau kelompok keagamaan dalam filsafat.
Kemudian daripada itu, metode intuitif yang dikemukakan oleh Plotinus terlihat sangat dipengaruhi pemikiran aliran keagamaan yang cenderung menggunakan cara-cara mistik dan kontemplatif. Dengan begitu sikap kontemplatif ini meresapi seluruh metode berpikir yang dikembangkan Plotinus, sehingga Plotinus berpendapat bahwa filsafat bukan hanya sekedar cara berpikir, namun lebih kepada jalan hidup (way of life).
Terlebih menurut Plotonus, metode intuitif lebih terkait dengan eksplisitasi intuisinya. Pendapat ini sesuai dengan ungkapan seorang Socrates, yang mengatakan bahwa pada diri manusia sudah ada potensi untuk mencapai kebenaran yang hakiki dan inti sari dari segala permasalahan, maka hanya dengan pensucian diri dan perenunganlah hal ini akan tercapai. Sebab intuisi seseorang akan memandunya untuk mengungkapkan kembali kebenaran itu, dengan jalan introspeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol, sehingga terjadi pembersihan intelektual beserta penyucian moral kemudian tercapainya suatu pencerahan pemikiran.
Walaupun semua bahan yang dihimpunnya dari berbagai filosof dan pandangan agama itu kelihatan saling bertentantangan, akan tetapi melalui proses kontemplasi akan tertapis dan tersusun secara harmonis. Menurutnya, pada akhirnya ini semua akan menciptakan visi (tujuan)kosmos yang harmonis dan bilamana telah tercapai tujuan ini, maka segala aspek yang cocok dengan kerangka menyeluruh tujuan tersebut akan menjadi benar. Keseluruhan visi sintesis itulah yang menjadi apriori metodis bagi Plotinus.
Konsep atau metode yang dikemukakan oleh Plotinus di atas sering mendapatkan kritik dari banyak pihak yang menganggap konsep plotinus terlalu bersifat dogmatis dan terkesan berpikir sendiri. Sebab Plotinus sering memakai simbol (lambang) dan andaian yang tidak terkawal atau terlalu ditujukan kepada intuisi masing-masing. Maka menurut sebagian banyak pihak mengakui bahwa dari segi pemuasan kejiwaan barangkali telah berhasil, namun untuk suatu pemastian dan pengembangan, Plotinus dianggap kurang berhasil.
Pada akhirnya, metode Plotinus disempurnakan pada abad modern oleh Hendri Bergson, seorang guru besar di sebuah Universitas di Paris yang sangat tertarik dengan Plotinus. Menurut Hendri Bergson, Dalam diri manusia ada vitalitas naluri, vitalitas spiritualisasi dan vitalitas biologis. Dimana vitalitas spiritualitas ini yang melawan segala materialisme, mekanisme dan mendobrak segala hukum kausalitas hingga membawa manusia menuju penghayatan yang makin meningkat terhadap ilmu, seni, susila maupun agama.
Bergson sendiri lebih berpikir dalam bentuk riak gelombang intuitif ketimbang dalam konsep-konsep. Bergson sesungguhnya tidak menjabarkan konsep dan gagasan dengan konstruksi secara logis, tetapi lebih kepada membiarkan pikiran menjelajah dan menyelam dalam arus kesadaran asli manusiawi atau yang di istilahkan pengalaman batiniah. Dimana pengalaman batiniah inilah yang bagi Bergson adalah jalan untuk menghasilkan pengertian mutlak.
Berkaitan dengan pemakaian simbol-simbol, Bergson pun sama dengan Plotinus, karena banyak memakai simbol agar dapat mencairkan konsep-konsep serta untuk mengarahkan visi dan intuisi. Simbol-simbol tersebut, kata Bergson, tidak mematikan gerak, malahan turut bergerak bersamaan dengan intuisi manusia. Sebab bagi Bergson simbol itu memiliki dua peranan, di satu sisi, simbol itu memperlihatkan realitas tersembunyi dan disisi lain, simbol itu membantu orang mencapai intuisi.
Plotinus juga dikenal sebagai seorang filsuf yang mengembangkan lebih lanjut konsep dan pokok pikiran seorang Plato, Sehingga dengan itu Plotinus disebut sebagai tokoh terkemuka sekaligus pendiri Neo Platonisme. Disisi lain, Plotinus bukan hanya mengadopsi pemikiran dari Plato, akan tetapi juga mengadopsi berbagai aliran filsafat, bahkan Plotinus juga masuk dalam aliran atau kelompok keagamaan dalam filsafat.
Kemudian daripada itu, metode intuitif yang dikemukakan oleh Plotinus terlihat sangat dipengaruhi pemikiran aliran keagamaan yang cenderung menggunakan cara-cara mistik dan kontemplatif. Dengan begitu sikap kontemplatif ini meresapi seluruh metode berpikir yang dikembangkan Plotinus, sehingga Plotinus berpendapat bahwa filsafat bukan hanya sekedar cara berpikir, namun lebih kepada jalan hidup (way of life).
Terlebih menurut Plotonus, metode intuitif lebih terkait dengan eksplisitasi intuisinya. Pendapat ini sesuai dengan ungkapan seorang Socrates, yang mengatakan bahwa pada diri manusia sudah ada potensi untuk mencapai kebenaran yang hakiki dan inti sari dari segala permasalahan, maka hanya dengan pensucian diri dan perenunganlah hal ini akan tercapai. Sebab intuisi seseorang akan memandunya untuk mengungkapkan kembali kebenaran itu, dengan jalan introspeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol, sehingga terjadi pembersihan intelektual beserta penyucian moral kemudian tercapainya suatu pencerahan pemikiran.
Walaupun semua bahan yang dihimpunnya dari berbagai filosof dan pandangan agama itu kelihatan saling bertentantangan, akan tetapi melalui proses kontemplasi akan tertapis dan tersusun secara harmonis. Menurutnya, pada akhirnya ini semua akan menciptakan visi (tujuan)kosmos yang harmonis dan bilamana telah tercapai tujuan ini, maka segala aspek yang cocok dengan kerangka menyeluruh tujuan tersebut akan menjadi benar. Keseluruhan visi sintesis itulah yang menjadi apriori metodis bagi Plotinus.
Konsep atau metode yang dikemukakan oleh Plotinus di atas sering mendapatkan kritik dari banyak pihak yang menganggap konsep plotinus terlalu bersifat dogmatis dan terkesan berpikir sendiri. Sebab Plotinus sering memakai simbol (lambang) dan andaian yang tidak terkawal atau terlalu ditujukan kepada intuisi masing-masing. Maka menurut sebagian banyak pihak mengakui bahwa dari segi pemuasan kejiwaan barangkali telah berhasil, namun untuk suatu pemastian dan pengembangan, Plotinus dianggap kurang berhasil.
Pada akhirnya, metode Plotinus disempurnakan pada abad modern oleh Hendri Bergson, seorang guru besar di sebuah Universitas di Paris yang sangat tertarik dengan Plotinus. Menurut Hendri Bergson, Dalam diri manusia ada vitalitas naluri, vitalitas spiritualisasi dan vitalitas biologis. Dimana vitalitas spiritualitas ini yang melawan segala materialisme, mekanisme dan mendobrak segala hukum kausalitas hingga membawa manusia menuju penghayatan yang makin meningkat terhadap ilmu, seni, susila maupun agama.
Bergson sendiri lebih berpikir dalam bentuk riak gelombang intuitif ketimbang dalam konsep-konsep. Bergson sesungguhnya tidak menjabarkan konsep dan gagasan dengan konstruksi secara logis, tetapi lebih kepada membiarkan pikiran menjelajah dan menyelam dalam arus kesadaran asli manusiawi atau yang di istilahkan pengalaman batiniah. Dimana pengalaman batiniah inilah yang bagi Bergson adalah jalan untuk menghasilkan pengertian mutlak.
Berkaitan dengan pemakaian simbol-simbol, Bergson pun sama dengan Plotinus, karena banyak memakai simbol agar dapat mencairkan konsep-konsep serta untuk mengarahkan visi dan intuisi. Simbol-simbol tersebut, kata Bergson, tidak mematikan gerak, malahan turut bergerak bersamaan dengan intuisi manusia. Sebab bagi Bergson simbol itu memiliki dua peranan, di satu sisi, simbol itu memperlihatkan realitas tersembunyi dan disisi lain, simbol itu membantu orang mencapai intuisi.
Terakhir, metode Plotinus dan Bergson seringkali dikatakan tidak bertumpu pada rasio dan intelektual manusia, akan tetapi bukan berarti bersifat anti-intelektual atau pembangkangan logika. Tetapi metode yang dikembangkan keduanya lebih kepada sifat supra intelektual karena dikembangkan dengan asumsi yakni, Manusia terkadang harus mengambil jarak yang berjauhan dengan logika, serta menyerahkan diri pada kemurnian kenyataan dan keaslian fitrah manusia.