Jean Paul Sartre dalam Pemikiran Eksistensialis

Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf kontemporer, penulis dan sekaligus juru bicara Eksistensialis di Prancis pasca Perang dunia II. Sartre lahir di Paris 21 Juni 1905 dan meninggal di Paris 15 April 1980 di usia 74 tahun.

Jean Paul Sartre adalah seorang Profesor Filsafat di Le Havre pada 1931. Karya utama Sartre adalah Being and Nothingness yang banyak dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya, terutama Kierkegaard dan Heidegger. Namun Filsafat Sartre memiliki kekuatan dan kejelasan yang menangkap semangat zamannya dengan cara yang lebih kuat dari para pendahulunya itu atau para eksistensial sebayanya, seperti Merleau-Ponty, Albert Camus dan Simone de Beauvoir.

Pada waktu itu, tema Eksistensialis yang dibangun oleh Sartre ialah klaim bahwa "Eksistensi mendahului Esensi", dengan ini Sartre berusaha menjelaskan pandangannya bahwa manusia itu pertama-tama ada tanpa tujuan atau definisi untuk menemukan dirinya di dunia dan baru setelah itu sebagai reaksi terhadap pengalaman, manusia mendefinisikan makna hidupnya.

Pandangan yang dibangun oleh Sartre ini merupakan kebalikan dari pendapatan Aristoteles dalam bukunya Ethics, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk memenuhi maksud atau tujuan, dan pemenuhan hidup itu tercapai dengan cara berusaha mencapai tujuan itu. Sebaliknya, Sartre berpendapat bahwa karena tidak ada Tuhan atau perancang yang memberikan kepada manusia suatu tujuan, maka terserah manusia sendiri untuk memilih kehidupan yang mereka anggap terbaik. 

Argumen Sartre ini seringkali dianggap sebagai argumentasi ateismenya padahal sebenarnya tidak untuk membuktikan premis eksistensialnya. Karena kepercayaan kepada Tuhan, menurut Sartre, adalah sebuah pilihan pribadi, ia atau agama adalah kehidupan dan tujuan yang dipilih. 

Sartre percaya keyakinan kepada Tuhan tidak bisa dipaksakan kepada seseorang dan bahkan seandainya orang yang mengalami mimpi seperti Ibrahim, kembali pada dirinya sendiri untuk menafsirkan mimpi itu, sebagai suara Tuhan atau halusinasi semata. Sebab hanya individu, bukan Tuhan yang dapat membuat penafsiran itu.

Begitulah ajaran filsafat Sartre, yang mengatakan bahwa manusia tidak pernah dipaksa, manusia dihadapkan dengan suatu pilihan pada setiap saat, bahkan jika seorang manusia dipenjara atau senjata ditodongkan ke kepalanya. Kata Sartre, ini merupakan pilihan orang itu untuk patuh atau menolak karena konsukuensi tidak menghalangi dia untuk membuat pilihan.

Sartre secara sadar menyadari bahwa kebebasan radikal yang dibangunnya ini mempunyai konsukuensi berat. Dimana kita bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita lakukan, karena dalam Eksistensialisme Sartre yaitu orang tidak dapat membuat alasan atau menolak tanggung jawab terhadap Tuhan maupun manusia, Sebab jika seseorang membuat alasan atau menolak tanggung jawab maka itu berarti penipuan diri atau keimanan yang buruk.

Terlebih dapat dilihat bahwa konsukuensi dari Eksistensialisme Sartre begitu berat dan tak terelakkan, kata Sartre, 'Kita atau Manusia dikutuk untuk bebas'. Tetapi tidak boleh menjadi penyebab kita untuk pesimisme. Sebab Eksistensialisme menunjukkan optimisme yang kuat. Seperti pesan optimis Sartre yakni 'Takdir Manusia Ada Dalam Dirinya Sendiri'.

Demikianlah Jean Paul Sartre dalam Pemikiran Eksistensialis seorang Sartre dianggap sebagai orang yang mengembangkan pemikiran dalam Eksistensialisme dengan menekankan pada kebebasan manusia yang radikal dengan mengatakan kebenaran itu bersifat relatif. dimana, manusia diciptakan kebebasan untuk mengatur dan menentukan dirinya. 

Jean Paul Sartre

Sebab semua manusia bebas mengekspresikan sesuatu yang menurutnya benar karena Sartre memiliki pandangan bahwa Eksistensi lebih dulu dibandingkan esensi. Terimakasih

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel