Telaah Esensi Problema dalam Kehidupan Masyarakat di Desa
Pada satu ketika, saya memiliki kesempatan untuk mengikuti pendataan Sustainable Development Goals (SDGs Desa), di salah satu Desa di Daerah Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara yang dalam hal ini bertujuan sebagai upaya terpadu dalam mewujudkan Desa tanpa kemiskinan dan kelaparan atau dengan kata lain sebagai rencana Pembangunan Berkelanjutan yang diprogramkan oleh Kementerian Desa (KEMENDES).
Setelah selesai melakukan rangkaian awal sebelum turun ke lapangan pendataan seperti, melakukan Technical Metting (TM) bersama Tenaga Ahli (TA) yang didatangkan langsung dari Provinsi untuk menjelaskan tujuan, makna dan teknis kerja Tim pendata di lapangan. Kami mulai dibagikan kelompok dan kelompok saya berjumlah tiga orang dengan wilayah kerja RT 11 dan RT 12.
Ternyata, ketika masuk rumah ke rumah yang satunya, kami mulai sedikit demi sedikit hingga dapat menyelesaikan pendataan sekiranya selama tiga minggu berjibaku sebelum masa deadline pengumpulan data di minggu ke empat sesuai yang disepakati bersama tim pendata dengan PEMDES (pemerintah Desa) dan tim Tenaga Ahli ketika Technical metting.
Setelah selesai melakukan rangkaian awal sebelum turun ke lapangan pendataan seperti, melakukan Technical Metting (TM) bersama Tenaga Ahli (TA) yang didatangkan langsung dari Provinsi untuk menjelaskan tujuan, makna dan teknis kerja Tim pendata di lapangan. Kami mulai dibagikan kelompok dan kelompok saya berjumlah tiga orang dengan wilayah kerja RT 11 dan RT 12.
Ternyata, ketika masuk rumah ke rumah yang satunya, kami mulai sedikit demi sedikit hingga dapat menyelesaikan pendataan sekiranya selama tiga minggu berjibaku sebelum masa deadline pengumpulan data di minggu ke empat sesuai yang disepakati bersama tim pendata dengan PEMDES (pemerintah Desa) dan tim Tenaga Ahli ketika Technical metting.
Nah, dari ke semua pengalaman itu kami ternyata mendapatkan informasi sekaligus pemahaman baru yang terselip dalam diri kamu semasa mendatangi dan mendata masyarakat dari rumah ke rumah. Yakni kami menyadari bahwa latar belakang dari sebuah kesejahteraan dan kebahagiaan bukanlah hanya melulu persoalan memiliki uang yang banyak.
Sebab di mata sebagian besar masyarakat yang hidup dengan kondisi rumah sederhana, hanya bermakan beras, umbi-umbian, sagu dan ikan, sayuran seadanya, ditambah pendapatan perkapita kepala keluarga 'ayah' yang tidak menentu namun sudah termasuk pendapatan keluarga secara keseluruhan. Namun sebagian besar masyarakat (responden), mengatakan bahwa keadaan hidup dengan keterbatasan di mata sebagian orang ini di mata mereka adalah suatu keadaan yang dinilai tidak membebani mereka, dengan kata lain mungkin itulah kategori sejahtera menurut mereka.
Dan dari pengalaman ini kami juga disadarkan bahwa kondisi hidup yang sederhana ini bukanlah disebabkan oleh faktor ketidakinginan akan malasnya masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup atau pendapatan per kapita maupun keluarganya, akan tetapi lebih kepada kesempatan, kesempatan memperoleh pekerjaan, pendapatan dan penghasilan yang menghadirkan kesejahteraan lebih bagi mereka.
Kenapa bukan faktor ketidakinginan atau malas sebagai penyebab hidup mereka masih penuh keterbatasan? Karena dibuktikan dengan sebagian besar masyarakat memiliki kebiasaan beternak, bertani secara bersamaan. Artinya membutuhkan sebuah sikap rajin untuk mengurusi hal itu secara keseluruhan. Terlebih mereka memiliki kesadaran bahwa hidup harus ditingkatkan karena mereka mempunyai keluarga yang harus dibiayai dan menyadari bahwa tuntutan hidup akan semakin meninggi yang sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebab di mata sebagian besar masyarakat yang hidup dengan kondisi rumah sederhana, hanya bermakan beras, umbi-umbian, sagu dan ikan, sayuran seadanya, ditambah pendapatan perkapita kepala keluarga 'ayah' yang tidak menentu namun sudah termasuk pendapatan keluarga secara keseluruhan. Namun sebagian besar masyarakat (responden), mengatakan bahwa keadaan hidup dengan keterbatasan di mata sebagian orang ini di mata mereka adalah suatu keadaan yang dinilai tidak membebani mereka, dengan kata lain mungkin itulah kategori sejahtera menurut mereka.
Dan dari pengalaman ini kami juga disadarkan bahwa kondisi hidup yang sederhana ini bukanlah disebabkan oleh faktor ketidakinginan akan malasnya masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup atau pendapatan per kapita maupun keluarganya, akan tetapi lebih kepada kesempatan, kesempatan memperoleh pekerjaan, pendapatan dan penghasilan yang menghadirkan kesejahteraan lebih bagi mereka.
Kenapa bukan faktor ketidakinginan atau malas sebagai penyebab hidup mereka masih penuh keterbatasan? Karena dibuktikan dengan sebagian besar masyarakat memiliki kebiasaan beternak, bertani secara bersamaan. Artinya membutuhkan sebuah sikap rajin untuk mengurusi hal itu secara keseluruhan. Terlebih mereka memiliki kesadaran bahwa hidup harus ditingkatkan karena mereka mempunyai keluarga yang harus dibiayai dan menyadari bahwa tuntutan hidup akan semakin meninggi yang sejalan dengan perkembangan zaman.
Namun kemampuan fisik dan kesadaran itu terbatasi karena tingkat pendidikan yang sebagian besar lulusan SD, SMP dan SMA. Dan kekurangan pemahaman mengembangkan potensi perkebunan dan peternakan ke industri ekonomi yang lebih baik.
Selanjutnya. Kenapa kesempatan menjadi faktor utama gagalnya upaya meningkatkan pendapatan hidup?. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan sebagian besar masyarakat bahwa sejauh ini mereka hanya satu kali mengikuti sosialisasi terkait perkebunan dan peternakan yang diakhiri dengan penjelasan singkat dan pemberian bibit setelah itu selesai. Artinya kesempatan mereka begitu sempit untuk meningkatkan kualitas berkebun dan beternak mereka.
Dan tidak adanya kesempatan lainnya ialah seperti mencari pekerjaan di luar petani dan peternak. Seperti menjadi, Pegawai Honorer, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Kantor Swasta dan kantoran lainnya. karena kita semua menyadari bahwa sekarang dunia menuntut semua para pekerja kantoran harus berstandar lulusan D-III, Strata I (S1), Strata II (S2) dan seterusnya.
Sebagian dari kita akan berkata, Kenapa tidak membaca atau menonton tutorial bertani dan beternak di media sosial, kan bisa lebih mudah? Kenapa tidak fokus tingkatkan pendidikan mereka sampai S1 atau S2 ?
Pertama, sepengalaman kami dalam wilayah mendata, ternyata kebanyakan dari mereka tidak begitu paham dengan media sosial, ada yang tidak memiliki android smartphone bahkan ada yang tidak bisa mengoperasikan handphone. Kebanyakan yang aktif dengan handphone android anak-anak mereka yang berusia 16-27 tahun, itupun tidak banyak mengetahui fungsi, kelebihan dan manfaat lain yang namanya Google, YouTube sebab mereka lebih banyak menggunakan Facebook ketimbang aplikasi lainnya.
Selanjutnya. Kenapa kesempatan menjadi faktor utama gagalnya upaya meningkatkan pendapatan hidup?. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan sebagian besar masyarakat bahwa sejauh ini mereka hanya satu kali mengikuti sosialisasi terkait perkebunan dan peternakan yang diakhiri dengan penjelasan singkat dan pemberian bibit setelah itu selesai. Artinya kesempatan mereka begitu sempit untuk meningkatkan kualitas berkebun dan beternak mereka.
Dan tidak adanya kesempatan lainnya ialah seperti mencari pekerjaan di luar petani dan peternak. Seperti menjadi, Pegawai Honorer, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Kantor Swasta dan kantoran lainnya. karena kita semua menyadari bahwa sekarang dunia menuntut semua para pekerja kantoran harus berstandar lulusan D-III, Strata I (S1), Strata II (S2) dan seterusnya.
Sebagian dari kita akan berkata, Kenapa tidak membaca atau menonton tutorial bertani dan beternak di media sosial, kan bisa lebih mudah? Kenapa tidak fokus tingkatkan pendidikan mereka sampai S1 atau S2 ?
Pertama, sepengalaman kami dalam wilayah mendata, ternyata kebanyakan dari mereka tidak begitu paham dengan media sosial, ada yang tidak memiliki android smartphone bahkan ada yang tidak bisa mengoperasikan handphone. Kebanyakan yang aktif dengan handphone android anak-anak mereka yang berusia 16-27 tahun, itupun tidak banyak mengetahui fungsi, kelebihan dan manfaat lain yang namanya Google, YouTube sebab mereka lebih banyak menggunakan Facebook ketimbang aplikasi lainnya.
Terlebih untuk penutup pertanyaan pertama ialah di Desa mereka Jaringan seluler dan internet susah (putus-putus). Kedua, lagi-lagi tuntutan dunia yang mengharuskan kuliah di perguruan tinggi negeri maupun swasta harus berlandaskan uang, maka keterbatasan keuangan yang membuat mereka lebih memilih pendidikannya berakhir di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ketimbang tidak sekolah sama sekali. Penutup, poin ini juga merupakan sebuah bukti bahwa telah sekali lagi mereka kehilangan yang namanya kesempatan. Terimakasih